Ketika berbicara tentang filsafat modern akan muncul nama Friedrich Nietzsche, Karl Marx dan juga Sigmund Freud. Nama Friedrich Nietzsche tak bisa dilewatkan begitu saja, karena ia banyak mempengaruhi pemikir-pemikir setelahnya, seperti Michel Foucault, Martin Heidegger, Jecques Derrida, Muhammad Iqbal dan lain-lain. Lalu, seperti apakah pemikiran seorang Nietzsche yang mampu mempengaruhi tokoh-tokoh penting dalam sejarah pemikiran tersebut?
Nietzsche merupakan seorang pemikir yang multitalenta, dalam buku-bukunya ia tidak hanya berbicara dalam satu paradigma berpikir sehingga tidak jarang orang-orang kesulitan menempatkan Nietzsche dalam tradisi keilmuan, apakah ia seorang filosof, sastrawan, psikolog atau yang lainnya. Hampir dari seluruh karya-karyanya berbentuk aforisme, sehingga untuk dapat memahami seorang Nietzsche kita harus membacanya secara komprehensif, meskipun begitu masih banyak dan tidak jarang orang masih memahami secara ‘salah’ tentang Nietzsche.
Menurut Farish Noor, banyak orang salah memahami siapa itu Nietzsche, bahkan tokoh terkenal filsafat Barat seperti Bertrand Russell pun dianggap masih belum bisa memahami Nietzsche. Nietzsche merupakan seorang yang unik, orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan orang semasa dengannya, sehingga ketika ia mengeluarkan ide-ide cemerlangnya, ia dianggap ‘gila’ oleh orang-orang disekitarnya. Ide-ide Nietzsche akhirnya baru dipahami oleh orang-orang sekitar 70 tahun pasca meninggalnya Nietzsche.
Dalam seminar tentang Nietzsche, Farish membuat skema sederhana untuk memahami pemikiran Nietzsche, yaitu sebagai berikut:
- 1. “UNTRUTH” is a condition a life
- 2. Philosophy (and Science) as Art
- 3. Perspectivisme is “will to power”
- 4. Philosopher-artist
Tetapi sebelum masuk ke dalam inti dari pemikiran seorang Nietzsche, Farish menjelaskan terlebih dahulu bagaimana Nietzsche membentuk tatanan baru –orang sering menyebutnya Nihilisme– karena menurut Nietzsche tatanan dunia ini telah dihancurkan oleh pemikiran Socrates yang kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya –Plato dan Aristoteles dan seterusnya.
Menurut Nietzsche, Socrates telah menghancurkan tatanan yang telah ada dalam masyarakat Yunani Kuno. Masyarakat Pra-Socrates telah menghargai nilai seni yang tinggi, tetapi di zaman Socrates orang-orang mulai mempertanyakan apa itu Beauty, apa itu seni dan lain sebagainya. Socrates –oleh Nietzsche– dianggap telah merusak tatanan (secara subversif) dengan dialektika. Di masa sebelumnya, yaitu masa kerajaan Athena dan Sparta, mereka telah memiliki tatanan masyarakat sendiri yang satu dengan yang lain berbeda. Masyarakat Athena adalah masyarakat yang sangat menghargai seni, sedangkan masyarakat Sparta bisa dikatakan tidak mengenal seni, karena mereka sudah mengenal perilaku yang sistematis. Namun, oleh Socrates masyarakat dikenalkan dengan apa yang disebut dengan ‘dialektika’ sehingga mereka mulai mempertanyakan apa ‘ide’ dibalik setiap peristiwa.
Socrates, menurut Nietzsche, adalah orang Yunani pertama yang memberontak terhadap tatanan yang sudah mapan, ia selalu mempertanyakan ‘ide’ dibalik segala sesuatu. Pada mulanya, masyarakat Yunani percaya bahwa “pelangi adalah jembatan antara alam manusia dengan alam para dewa”, namun oleh Socrates hal tersebut dipertanyakan ulang, ia mencari apa yang ada dibalik segala sesuatu yang –pada dasarnya– oleh masyarakat itu dianggap sebagai “kebenaran”.
Pada zaman pra-Socrates, masyarakat percaya bahwa kebenaran itu terletak di objek (the Truth is Objek) tapi pada zaman Socrates, karena pengaruh dilektikanya, masyarakat mulai mempercayai bahwa kebenaran bukanlah terletak di objek melainkan di subjek itu sendiri (the Truth is Subjek) yang artinya kebenaran itu bersifat Universal dan era inilah yang menandai munculnya Idealisme Objektif.
Di zaman Aristoteles, ia tidak lagi berbicara soal ide, tetapi esensi segala sesuatu. Ketika berkata “air itu basah”, basah tidak dimaknai sebagai ide melainkan esensi dari air tersebut. Di masa inilah muncul skeptisisme terhadap dunia, yang kemudian memunculkan konsep tentang metafisika. Konsep tentang sesuatu yang metafisis (lebih tinggi dari fisik) tersebut adalah bentuk reaksi terhadap segala sesuatu yang tidak mampu dijelaskan secara fisik, yang kemudian melahirkan theology (berhubungan erat dengan Theologi Kristen) dan juga falsafah (Western philosophy).
Di era modern, kedua hal diatas digunakan untuk menguasai, untuk membalas dendam, menghegemoni bangsa selain bangsa Barat (Farish menyebutnya sebagai Spirit Of Revenge). Orang-orang Barat menggunakan filosofi dan science untuk menghegemoni bangsa di luar mereka, dan disinilah terlihat tingkat arogansi yang untuk membalas dendam.
Menurut Socrates, Truth adalah sama, sehingga semuanya dianggap ‘benar’. Namun berbeda dengan Socrates, Nietzsche berpendapat bahwa tidak ada Truth di dunia ini yang ada hanyalah fenomena karena Truth itu tak jangkau oleh manusia, yang ada hanya ide yang tak berubah yaitu bahasa –yang menyebabkan pembekuan dan menyebabkan Stagnasi.
Dari penjelasan diatas, terlihat bagaimana Nietzsche mendekontruksi pemikiran yang telah ‘dibangun’ oleh Socrates dan para penerusnya, dan ia kemudian merekontruksi pemikiran tersebut –mengembalikannya pada zaman pra-Socrates yang dianggap sebagai zaman ideal, yaitu dengan empat poin utama seperti yang tertulis di atas.
Pertama, “UNTRUTH” is a condition of life bisa diartikan sebagai ‘ketidakbenaran adalah kondisi hidup’. Nietzsche menganggap bahwa ‘Kebenaran Mutlak’ adalah tidak ada, yang ada hanya subjektivifas dari manusia itu sendiri. Manusia harus rela menipu dirinya sendiri untuk sebuah ‘kebenaran’, karena ‘kebenaran’ itu tidak ada maka ‘Untruth’ juga menjadi bagian dari kehidupan setiap manusia.
Kedua, Akibatnya dari pandangan di atas maka timbullah Philosophy (and Science) as Art. Filsafat dan sains itu bersifat egois. Karena mereka (filsafat dan sains) hanya berbicara tentang diri mereka sendiri sehingga timbullah apa yang namanya ‘kebenaran subjektif’ yaitu kebenaran yang diukur dengan pengalaman pribadi yang pada hakikatnya merupakan bentuk penipuan terhadap diri sendiri. Orang mencari ‘pembenaran’ dengan apa yang telah ia alami, padahal hal tersebut belum tentu dialami oleh yang lain. Inilah yang disebut Nietzsche dengan The Gay Science yaitu pengetahuan manusia itu bersifat subjektif.
Ketiga, Perspectivisme is “will to power”. Manusia melihat dunia dengan perspektif subjektifnya. Perspektif inilah yang kemudian digunakan untuk will to power. Will to power pada tahap selanjutnya akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi dan unik (sebagimana orang-orang Yunani Kuno menggunakan dorongan-dorongan will to power untuk menciptakan kebudayaan mereka). Pengalaman seseorang merupakan ‘will’-nya. Manusia adalah species yang komplek, ia mengalami (atau memperoleh pengalaman) dari dunia, dengan adanya perspektif itu manusia menganggap bahwa dunia ini adalah dunianya (will), padahal di dunia ini tidak hanya ada manusia, ada binatang, tumbuhan dan lain sebagainya. Klaim tentang the truth merupakan alat kontrol ‘will’ aktif.
Keempat, tahap terakhir yaitu apa yang disebutnya dengan philosopher-artist (atau dalam bahasa Jerman dikenal dengan Übermensch atau superman). Philosopher-artist bisa diartikan sebagai manusia yang baru, manusia yang berbeda dari yang lain (unik) dan manusia yang berkuasa. Ia diibaratkan sebagai seseorang yang berada di puncak gunung tertinggi, hanya ada dia seorang di tempat tersebut dan yang lainnya tidak terlihat. Inilah superman dalam arti sebenarnya. Bukan seperti yang ada dalam film-film, yaitu seseorang yang memiliki kekuatan super yang bisa terbang, bertubuh baja dan lain sebagainya. Übermensch merupakan sosok yang diidealkan oleh Nietzsche, ia merupakan sosok atau pribadi tertentu yang suatu saat akan datang Übermenschmerupakan pribadi manusia yang benar-benar ada dan hidup. Dia merupakan sosok yang tidak seorang dapat mengetahuinya, ia bukanlah seperti Napoleon, Julius Caesar dan tokoh-tokoh terkenal lainnya –Nietzsche menyebut mereka dengan der grosse mensch (orang besar) bukan Übermensch.
Nietzsche juga menolak dengan adanya pengetahuan (no knowledge), menurutnya pengetahuan itu tidak ada yang ada hanya interpretasi (only interpretation). Ada dua jenis model dalam melakukan interpretasi, yaitu manusia menginterpretasikan sesuatu secara berani (brave) atau ia menginterpretasiakan secara takut (loward). Kaum intelektual oleh Nietzsche dimasukkan dalam interpreter yang penakut. Karena mereka hidup hanya untuk mengawetkan/melindungi (life-preserving). Mereka terjebak dalam moralitas etis, dan science. Inilah sosok manusia modern. Mereka melakukan klasifikasi dan akhirnya sampai pada konsep tentang benar-salah. Sesuatu perbuatan kalau tidak benar, berate itu adalah salah.
Nietzsche menggambarkan manusia modern hampir sama dengan Marx Weber menggambarkan manusia. Manusia modern, oleh Nietzsche, diibaratkannya sebagai seekor lebah yang membangun sarangnya, ia membangun sarang berdasarkan konsepsi yang ia ciptakan dan usaha kerasnya. Namun setelah sarang tersebut jadi, ia lupa dan terjebak dengan konsepsi yang dibentuknya sehingga ia lupa dengan ‘the art’. Sedangkan menurut Weber, manusia diibaratkan seperti laba-laba yang membangun sarangnya, namun setelah membangun sarang (sistem) tersebut ia terpintal dan tidak bisa keluar untuk selamanya. Itulah gambar manusia modern menurut Nietzsche, yaitu manusia yang terjebak dengan apa yang telah mereka bentuk sendiri (sistem) sehingga mereka tidak mampu menjadi diri mereka yang sebenarnya –atau tidak mampu mengaktualisasikan diri.
Sedangkan mereka yang berinterpreter dengan cara berani akan memperteguh/memperkuat hidupnya (life-affirming) dengan keberanian dalam ‘art’. Mereka inilah The Gay Science. Mereka adalah manusia yang lepas dari sistem opresif, mampu membuka ruang persepsi untuk membebaskan manusia dengan ‘will’-nya atau disebut Nietzsche sebagai Overman (transformator of Value). Mereka adalah seorang individu yang unik, subjective dan intens. Mereka inilah yang mampu mengafirmasi hidup dan dunia.
Koleksi buku Nietzsche dapat di beli di nasution books
Koleksi buku Nietzsche dapat di beli di nasution books
Tidak ada komentar:
Posting Komentar