Fanatik.
Kata itulah yang muncul (meski tidak seluruhnya) ketika berbicara identitas,
organisasi, agama dan
budaya. Kita “dituntut” untuk fanatik terhadap apa yang kita miliki, tentu saja tetap dalam koridor tertentu. Seringkali fanatisme menimbulkan ketidakadilan sehingga terjadi ketidakseimbangan, kesetaraan, yang pada akhirnya berujung merugikan. Dan inilah salah satu akar dari konflik.
budaya. Kita “dituntut” untuk fanatik terhadap apa yang kita miliki, tentu saja tetap dalam koridor tertentu. Seringkali fanatisme menimbulkan ketidakadilan sehingga terjadi ketidakseimbangan, kesetaraan, yang pada akhirnya berujung merugikan. Dan inilah salah satu akar dari konflik.
Konflik berbasis SARA (suku, agama,
ras dan antar-golongan) menjadi tak terelakkan ketika hal di atas terjadi.
Misalnya, konflik Maluku yang berujung pada konflik antar agama (Islam dan
Kristen), kebakaran yang terjadi di Lampung di awal 2012, merupakan konflik antar
etnis lampung sebagai penduduk asli dan Jawa dan Bali sebagai etnis pendatang,
dll. Itu menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama kita sebagai bangsa dengan
pluralitas tertinggi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan.
Pernah aku berpikir, apakah kita
harus melepaskan semua identitas yang melekat pada kita untuk meminimalisir
konflik? Ternyata tidak. Karena bagaimanapun keanekaragaman akan tetap ada.
Tinggal bagaimana mensikapi keanekaragaman tersebut. Keanekaragaman harus
disikapi dengan positif. Ia merupakan rahmat Tuhan yang harus disyukuri.
Bukankah Tuhan menciptakan kita berbeda-beda untuk saling mengenal satu sama
lain (Q. S. al-Hujurat: 10)? Karena pada dasarnya kita diciptakan satu sama
lain oleh-Nya untuk saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan diciptakan
sepasang untuk saling melengkapi. Islam tanpa adanya lain –Kristen, Buddha,
Hindu, Yahudi, dll– akan “pincang” dan begitu juga sebaliknya.
*
Gubuk Insan Cita, 3 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar