2013-03-04

Fanatik dan Konflik

Fanatik. Kata itulah yang muncul (meski tidak seluruhnya) ketika berbicara identitas, organisasi, agama dan
budaya. Kita “dituntut” untuk fanatik terhadap apa yang kita miliki, tentu saja tetap dalam koridor tertentu. Seringkali fanatisme menimbulkan ketidakadilan sehingga terjadi ketidakseimbangan, kesetaraan, yang pada akhirnya berujung merugikan. Dan inilah salah satu akar dari konflik.
            Konflik berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) menjadi tak terelakkan ketika hal di atas terjadi. Misalnya, konflik Maluku yang berujung pada konflik antar agama (Islam dan Kristen), kebakaran yang terjadi di Lampung di awal 2012, merupakan konflik antar etnis lampung sebagai penduduk asli dan Jawa dan Bali sebagai etnis pendatang, dll. Itu menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama kita sebagai bangsa dengan pluralitas tertinggi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
            Pernah aku berpikir, apakah kita harus melepaskan semua identitas yang melekat pada kita untuk meminimalisir konflik? Ternyata tidak. Karena bagaimanapun keanekaragaman akan tetap ada. Tinggal bagaimana mensikapi keanekaragaman tersebut. Keanekaragaman harus disikapi dengan positif. Ia merupakan rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Bukankah Tuhan menciptakan kita berbeda-beda untuk saling mengenal satu sama lain (Q. S. al-Hujurat: 10)? Karena pada dasarnya kita diciptakan satu sama lain oleh-Nya untuk saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan diciptakan sepasang untuk saling melengkapi. Islam tanpa adanya lain –Kristen, Buddha, Hindu, Yahudi, dll– akan “pincang” dan begitu juga sebaliknya.
                                                                                                 * Gubuk Insan Cita, 3 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar