ISLAM DAN PLURALISME:
ANTARA PERTENGKARAN ATAU SALING MENGISI
DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI
Oleh: Syarifuddin
el-Azizy
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sebagai sebuah agama, yang muncul 14 abad silam di Arab,
dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang dan masih sangat relevan dengan
kondisi dunia modern yang rasionalistis dan progressif. Sebagai agama yang
muncul di dataran kering, Islam menawarkan konsep pembebasan dengan menggunakan
prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan dan juga ketuhanan (tauhid). Wacana
pembebasannya pun kemudian menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, meskipun
pada awalnya mendapat perlawanan sengit dari penguasa Quraisy yang otoriter.
Namun, berkat perjuangan kaum muslimin, dengan petunjuk Tuhan melalui Nabi
Muhammad saw., akhirnya kaum muslimin menang dan dengan menggunakan prinsip
keadilan, kemanusian serta ketuhanan dalam membangun tatanan kehidupan
masyarakat yang berkeadaban (masyarakat madani). Adalah Nabi Muhammad, seorang
pemuda ummi yang mendapat wahyu Tuhan yang memimpin gerakan tersebut. Pasca
wafatnya nabi, Islam dipimpin oleh sahabat-sahabat nabi yang dikenal dengan
khalafaur rasyidin, mereka itu adalah Abu Bakar As-Shiddiq ra, Umar ibn Khattab
ra, Utsman ibn Affan ra, dan Ali ibn Thalib kw.
Konsep tauhid yang dibawa Nabi Muhammad menjadi sebuah pondasi
utama lahirnya kehidupan masyarakat yang berkeadaban (masyarakat madani),[1]
yang akan diuraikan lebih jelas dalam makalah ini, sebuah masyarakat "ideal" yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, keterbukaan dan demokrasi yang
berlandaskan tawhid. Dalam masyarakat madinah tersebut, penganut agama-agama
seperti Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan, begitu juga
anggota-anggota suku Quraisy. Meskipun begitu, perbedaaan (agama dan suku ini)
tidak kemudian menjadikan mereka bermusuhan.
Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Perbedaan-perbedaan
merupakan norma alami yang bersifat universal dan merupakan salah satu tanda
kemahabesaran sang Pencipta.[2]
Perbedaan sering kali dimaknai secara negatif sehingga memunculkan konflik dan
pertikaian. Sementara itu Islam melihat perbedaan sebagai rahmatan lil
alamin. Secara tegas, kitab suci menyatakan bahwa manusia diciptakan
berbeda-beda supaya mereka saling mengenal satu sama lain (Q. S. Al-Baqarah/2:
213). Bukan kemudian saling bertikai, berkonflik dan melakukan pertumpahan
darah.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Konsep Pluralisme dalam Islam?
2.
Masyarakat
Madani dan Islam?
3.
Bagaimana
Relasi Islam, Pluralisme dan Masyarakat Madani?
C.
Metodologi
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi
kepustakaan (library research),
yaitu menggunakan sumber-sumber yang berhubungan dengan tema yang penulis
angkat dalam makalah ini, baik itu berupa buku, jurnal, media cetak maupun
elektronik lainnya.
D.
Sistematika penulisan
Bab
pertama, pembahasan diawali pendahuluan sebagai pengantar untuk bab-bab
selanjutnya. Di sini dijelaskan latar belakang masalah, untuk memberikan uraian
tentang makalah ini. Rumusan masalah untuk mengfokuskan pada masalah yang
diangkat. Metodologi dimaksudkan untuk mengetahui metode yang digunakan penulis
dalam penyusunan makalah ini. Kemudian yang terakhir sistematika yang
menjelaskan secara singkat sistematika yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab kedua, menyajikan sejarah dan latar belakang munculnya
pluralisme. Bagaimana makna pluralisme dan bagaimana pandangan Islam tentang pluralisme.
Bab
ketiga, menguraikan tentang civil society dan masyarakat madani secara
historis, dan bagaimana masyarakat madani perspektif Islam.
Bab
empat, menjelaskan tentang relasi Islam, pluralisme dan masyarakat madani, dan
bagaimana konteks ke indonesiaan.
Bab
lima, bagian terakhir yang berisi penutup terdiri kesimpulan sebagai jawaban
dari rumusan masalah dan berisi saran-saran.
BAB II
PLURALISME DALAM ISLAM
A.
Sejarah Pluralisme
Sebagai wacana kontemporer, pluralisme masih menjadi isu hangat
untuk diperbincangkan. Muncul berbagai perspektif dalam memaknai istilah
tersebut. Ada yang menolaknya serta merta dengan alasan berseberangan dengan
nilai-nilai fundamen keagamaan, tetapi ada juga yang menerimanya –bahwa konsep
itupun sudah ada dalam agama yang dianutnya. Munculnya berbagai perspektif ini
memperkaya khazanah keilmuan, terutama bagi kalangan cendikiawan, akademisi
maupun kelompok lainnya yang menggeluti studi pemikiran.
Sebelum memasuki bagaimana pandang Islam tentang pluralisme,
terlebih dahulu kita merujuk tentang apa itu pluralisme (secara umum) dan
bagaimana terbentuknya konsep tersebut.
Ada sebuah buku menarik yang mengulas tentang pluralisme dan
bagaimana terbentuknya konsep tersebut. Buku tersebut berjudul "Tren Pluralisme
Agama: Tinjaun Kritis" yang ditulis oleh Dr. Anis Malik Thoha.[3] Dalam buku ini, Thoha mengungkapkan pluralisme agama (khususnya)
muncul pada abad yang disebut Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya
pada abad ke 18 Masehi, masa yang disebut sebagai permulaan bangkitnya gerakan
pemikiran modern.[4] Kemenangan sains atas otoritas keagamaan yang ditandai oleh
reformasi Gereja merupakan awal bangkitnya pemikiran modern tersebut, yang
ditandai dengan munculnya suatu paham yang dikenal dengan "Liberalisme",
yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman
atau pluralisme. Liberalisme sebagai suatu paham kemudian memunculkan munculnya
paham-paham lain yang lahir dari rahimnya, yaitu sekularisme, dan dari
sekularisme inilah lahir pluralisme.
Munculnya gerakan Liberalisme di Eropa sebagian besar didorong oleh
kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan
konflik-konflik etnis dan sektarian yang pada akhirnya menyeret kepada
pertumpahan darah antar-ras, sekte dan madzhab pada masa reformasi keagamaan.[5] Dari pemaparan di atas, jelas kiranya bahwa Liberalisme lahir
sebagai respon sosial-politik yang carut marut pada masa reformasi (gereja).
Pada abad ke-20 gagasan pluralisme meluas bukan hanya pada satu
kelompok keagamaan saja (baca: Kristen), tetapi juga mencakup ke komunitas-komunitas
lain di seluruh dunia. Akibat nyata dari gagasan pluralisme yaitu direvisinya
doktrin keagamaan gereja katolik yang menyatakan extra eccleasiam nulla
salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dengan mengakui bahwa "ada
keselamatan lain di luar gereja" pada konsili Vatikan II pada tahun
1962-1965, yang banyak dipengaruhi oleh seorang teolog katolik bernama Karl
Rahner.[6] Rahner berpandangan bahwa:
Penganut
agama lain mungkin menerima karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa
harus masuk menjadi penganut Kristen (Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal
sebagai orang "Kristen anonim" (anonymus Christian). Yesus tetap
menjadi norma dimana kebenaran berada, dan dimana jalan keselamatan diperoleh.
Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama
Kristiani agar mendapatkan kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. … agama
lain adalah sebenarnya bentuk implicit dari agama Kristiani. Keselamatan
universal secara ontologism berdasarkan tindakan kreatif Allah dan secara
historis dihadirkan dalam peristiwa dalam peristiwa Yesus. [7]
B.
Makna pluralisme
Muncul berbagai perspektif terkait pemaknaan istilah pluralisme,
sehingga menimbulkan reaksi berbeda pula. Pluralisme,
menurut Dawam Rahardjo adalah suatu paham yang merupakan respons terhadap
pluralitas.[8] Pluralisme ini cenderung mengarah pada pandangan pascamodern atau
biasa disebut dengan post-modern, yaitu ingin memelihara keragaman melalui
interaksi, dialog saling pemahaman, dan penghargaan. Sementara itu Nurcholish Madjid, mengartikan pluralisme sebagai sebuah aturan Tuhan (Sunnah Allah)
yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak dilawan atau diingkari.[9]
Menurut Fathi Osman,[10] pluralisme adalah bentuk institusional yang merima keragaman yang
terjadi dalam masyarakat tertentu dan dalam dunia sebagai keseluruhan, maknanya
lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif.[11] Tidak jauh berbeda dari Osman, ada juga yang memaknai pluralisme
sebagai keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun
peradaban bersama.[12]
Dengan pemahaman, bukan sekedar mengetahui, terhadap yang lain diharapkan
tercipta perdamaian, interaksi dan kesepahaman dan penghargaan. Kemajemukan merupakan
keniscayaan. Kemajemukan atau keanekaragaman seringkali mengandung dua potensi,
yaitu: pertama, potensi konflik dan disintegrasi. Namun sebaliknya, kedua,
berpotensi sebagai sumber dinamika perubahan sosial dan kemajuan.[13] Tinggal bagaimana kita mengelola kedua potensi itu, apakah
dijadikan landasan untuk memusuhi, menciptakan konflik atau memanfaatnya untuk
kepantingan bersama, menuju kemajuan dan peradaban yang lebih baik.
Untuk mengelola keberagaman dibutuhkan suatu wadah yang mampu
menjadi titik temu berbagai macam eksistensi yang beragam tersebut, wadah
tersebut adalah dialog. Dalam konteks keagamaan, terdapat dialog intra-umat
beragama dan juga dialog antar-umat beragama. Dalam dialog tersebut, tidak
dimaksudkan untuk mengunggulkan kelompok satu dan merendahkan kelompok lain,
tetapi mencari titik temu (kalimah al sawa) antar-keberagaman itu. Dalam
konteks keagamaan, antar umat beragama dapat bertemu satu dengan yang lain
dalam ranah ketuhanan (sama-sama bertuhan, terlepas bagaimana pemahaman
terhadap Tuhan) dan juga kemanusiaan (karena agama itu sendiri untuk manusia, bukan
untuk Tuhan).
C.
Pluralisme dan Islam
Setelah kita mengetahui makna dan apa itu pluralisme, bagaimana Islam
memandang pluralisme? Jika di awal tadi disebutkan bahwa pluralisme berasal
dari Barat (Eropa), namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah ia
juga ada dalam Islam. Jika ada, apakah ia bertentangan dengan nilai dasar Islam,
Tauhid?
Pluralisme bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Sebab secara
teologis maupun historis, Islam tidak bisa dilepaskan dari agama-agama lain.[14] Perjumpaan dengan agama-agama lain tidak kemudian menjadikan Islam
tertutup atau menutupi dirinya, tapi kemudian Islam menghargai, mengakui dan
menghormati agama lain serta memberikan kebebasan kepada pemeluk agama tersebut
untuk menjalankan agamanya, sebagaimana disebutkan dalam kitab suci (Q. S.
al-Baqarah/2: 256). Pengakuan terhadap agama lain, khususnya Kristen dan
Yahudi, bahkan meletakannya sebagai satu jalur ketuhanan (monotheisme)
merujuk kepada Ibrahim (lelehur ketiga agama tersebut,maka dari itu ketiganya
disebut juga sebagai abrahamic
religions). Dengan adanya titik temu ini Islam memberi landasan teologis
bagi pemeluknya untuk menerima pluralisme, yaitu suatu konsep keberagaman mengenai keberadaan agama-agama lain dan
mengadakan hubungan baik dengan para pemeluknya.[15]
Sheikh Rashid Ghanoushi dalam "Islamisme, Pluralisme dan
Civil Society" menyatakan bahwa "antara pluralisme dan landasan Islam
tidak ada kontradiksi mengenai kesaksian tentang monoteisme (syahadat tawhid)
yang muthlak.[16]
Tidak berbeda dengan Ghanoushi, Nurcholis Madjid (atau Cak Nur) juga menyatakan
bahwa "pluralisme sebagai salah satu ajaran pokok Islam yang amat relevan
dengan zaman",[17]
dari kedua pendapat cendekiawan muslim di atas nampaknya dalam Islam sendiri
tidak menolak pluralisme, karena pluralisme sendiri ada di Islam dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai tauhid.
Memang kita tidak dapat membatasi makna pluralisme hanya dari satu
sudut pandang, karena setiap manusia dengan kemampuan nalarnya diberi kebebasan
untuk menafsirkan. Sebagaimana istilah pluralisme, Islam juga (sebagai
keyakinan, budaya, dan peradaban) tidak pernah dipahami dan ditafsirkan secara
tunggal, seperti diungkapkan Mehmet S. Aydin dalam buku "Islam dan Pluralisme".[18]
Ada yang memaknai Islam secara eksklusif sebagai institusi agama, ada juga yang
memaknai secara inklusif sebagai sikap ketundukan terhadap Tuhan atau Islam
Generik, meminjam ungkapan Cak Nur.
Di dalam paragraf di atas,
disebutkan bahwa pluralisme tidak bertentangan dengan Islam, lalu bagaimana bagaimanakah
jika pluralisme ditinjau dari kitab suci? Dalam kitab suci ada beberapa ayat
yang mendukung pluralisme, yaitu:
1.
"Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian
di sisi Tuhan ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui" (Q. S. al-Hujurat/49: 13)
2.
"Untuk
setiap umat di antara kamu, Kami telah berikan aturan dan jalan. Seandainya
Allah menghendaki, niscaya kamu Ia jadikan umat yang tunggal. Tetapi Ia hendak
menguji kamu berkenaan dengan apa yang telah Ia anugrahkan kepada kamu. Maka
berpaculah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah kembalimu
semua, kemudian Ia akan jelaskan kepadamu tentang segala hal yang kamu pernah
berselisih di dalamnya." (Q. S. al-Ma'idah/5: 48)
3.
"Bagi
tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada,
pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada hari akhirat). Sesungguhnya Allah
maha kuasa atas segala sesuatu." (Q. S. al-Baqarah/2: 148)
4.
"Dan
di antara tanda-tanda-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, dan perbedaan
bahasa dan warna kulit. Sungguh dalam hal itu terdapat tanda-tanda yang nyata
bagi yang mengetahui." (Q. S. 30: 22)
5.
"bagi
tiap umat kami jadikan cara beribadat yang harus mereka lakukan, maka janganlah
mereka bertengkat mengenai hal itu. Dan berdoalah kepada Tuhan engkau, sesungguhnya
engkau berada di atas petunjuk yang benar". (Q. S. al-Hajj/22: 26)
BAB III
MASYARAKAT MADANI DAN ISLAM
A.
Civil Society dan
Masyarakat Madani
Sebelum membahas tentang konsep masyarakat madani, perlu kiranya
kita merujuk tentang konsep Civil Society, yang dalam konteks
keindonesiaan diterjemahkan dengan istilah "masyarakat madani",
terlebih dahulu. Sehingga nantinya dalam pembahasan ini tidak mengalami
ahistoris. Karena istilah ini tidak muncul secara spontan di masyarakat, tetapi
memiliki geneologi tersendiri.
Civil Society merupakan
istilah yang beredar dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke 18
di Eropa Barat dan masih berlanjut hingga akhir abad ke 19.[19] Di Indonesia Istilah Civil Society diterjemahkan menjadi
"masyarakat sipil", "masyarakat warga/kewargaan", atau
"masyarakat madani".[20]
Secara harfiah, Civil Society merupakan terjemahan dari
istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dipakai oleh Cicero
(106-43 SM). Cicero menyebut Civil Society sebagai sebuah masyarakat
politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar
pengaturan hidup. Adanya kode hukum yang mengatur pergaulan individu menandai
keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri, berbeda dengan masyarakat alami
yang belum memiliki kesepakatan hukum bersama. Menurut Dawam Rahardjo, "Pengertian
ini erat kaitannya bahkan merupakan bagian dari konsep tentang bangsa atau
warga Romawi yang hidup di kota-kota yang memiliki kode hukum (ius civile)
yang merupakan ciri dari masyarakat atau komunitas politik yang beradab (civilized
political community) dibandingan dengan masyarakat di luar Romawi yang
belum beradab".[21]
Di zaman modern, istilah ini dimunculkan kembali ke permukaan oleh
John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778) untuk mengungkapkan
pemikirannya tentang masyarakat dan politik. Locke mendefinisikan civil Society sebagai
masyarakat politik (political society). Dalam pengertiannya, civil
society dicirikan dengan terdapatnya tata kehidupan politik yang terkait
pada hukum yang didukung kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem uang
sebagai alat tukar, terjadinya tukar-menukar dalam sebuah pasar bebas serta
berkembangnya teknologi yang dipakai untuk mensejahterakan dan memuliakan
hidup. Itulah ciri masyarakat yang telah beradab perspektif Locke.
Sementara itu, Rousseau, seorang filsuf sosial Perancis abad ke
18, memandang "masyarakat
politik" sebagai masyarakat yang terbentuk sebagai hasil dari suatu
perjanjian masyarakat (sosial contract). Dalam konsep perjanjian
masyarakat tersebut, setiap anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan
dan pergaulan bersama. Masyarakat seperti ini membedakan diri dari keadaan
alami suatu masyarakat.
B.
Pengertian Masyarakat Madani
Setelah kita mengetahui makna civil society, barulah kita
merujuk pada masyarakat madani. Istilah masyarakat madani merujuk pada
masyarakat madinah. Secara konvensional, madinah dapat diartikan sebagai
"kota". Tetapi, secara kebahasaan, madinah dapat diartikan
sebagai "peradaban".[22] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
masyarakat yang berperadaban atau masyarakat beradab.
Dalam perspektif Islam, masyarakat madani lebih mengacu pada
penciptaan peradaban.[23] Membangun atau menciptakan masyarakat madinah itulah yang
dilakukan oleh Nabi selama 10 tahun di Madinah.[24] Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis,
dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Landasan
ketuhanan inilah, yang kemudian meresap dan memancar dalam semangat
perikemanusiaan, yang membedakan konsep masyarakat madani dengan konsep civil
society ala para filsuf
barat.
Masyarakat yang beradab dicirikan dengan menjunjung tinggi
moralitas atau berbudi luhur. Karena moralitas yang luhur
akan menciptakan perilaku yang baik, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan kemanusiaan, sehingga melahirkan kesadaran hukum. Kesadaran hukum
inilah yang mendukung terciptanya peradaban yang tinggi, yang juga disokong
dengan kesejahteraan masyarakatnya secara ekonomi dan juga keterlibatan
masyarakat secara politik (berprinsip demokratis). Atau dengan bahasa lain,
masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban karena tunduk dan patuh (danayadinu)
kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan
peraturan.[25]
Dalam sejarah Islam, masyarakat beradab pertama kali adalah
masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad. Masyarakat tersebut bukan
hanya terdiri dari satu kelompok (agama atau suku) saja, tetapi beragam. Di masyarat
inilah tiga agama yang berbeda (Islam, Yahudi dan Kristen) hidup berdampingan
pertama kali dalam satu kelompok sosial, yang diikat dengan sebuah konstitusi
yang disebut konstitusi madinah (bahasa arab, mitsaq al madinah). Inilah
dokumen konstitusi politik pertama dalam sejarah umat manusia yang meletakkan
dasar-dasar pluralisme dan toleransi.[26] Konstitusi tersebut berisi 47 ayat[27] yang inti dari konstitusi tersebut, yaitu pertama,
pengakuan bahwa mereka merupakan satu kesatuan sosial yang disebut al-ummah
(umat), kedua, mereka tunduk dan berorientasi pada nilai-nilai luhur (virtue)
yang disebut al-khair atau kebajikan. Ketiga, mekanisme itu untuk
menegakkan yang baik (ma'ruf) dan mencegah yang buruk (mungkar).[28]
Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya masyarakat madani,
yaitu: pertama, pengakuan terhadap pluralisme. Pengakuan terhadap pluralisme
tersebut tidak sekedar pengakuan semata-mata, tetapi juga harus disertai sikap
yang tulus untuk menerima kemajemukan itu secara positif, sebagai rahmat Tuhan
yang akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan
pertukaran silang yang beraneka ragam.[29]
Kedua, toleransi. Sebagai
basis pluralisme tidak dapat berdiri sendiri, namun juga harus diikuti dengan
toleransi. Tanpa adanya toleransi, pluralisme akan pincang. Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang
luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya
masyarakat keadaban itu, sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud
dari "ikatan keadaban" (bond of civility).[30] Islam bukan sekedar mengakui tetapi juga melindungi kelompok lain.
Dalam Islam dikenal konsep dzimmah, yang dikagumi oleh Bertrans Russel
–seorang ateis radikal –yakni perlindungan, dalam hal perlindungan kepada
golongan bukan muslim penganut kitab suci (ahl al-kitab).[31] Bahkan ditegaskan dalam kitab suci, bahwa "seandainya
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi, seluruhnya! Maka
apakah engkau (hai Muhammad) akan memaksa manusia sehingga beriman semua"
(Q. S. Yunus/10: 99). Di ayat lain juga ditegaskan bahwa "tidak ada
paksaan dalam agama: sesungguhnya jalan hidup benar telah jelas berbeda dari
jalan hidup yang sesat" (Q. S. al-Baqarah/2: 256) dan dipertegas lagi
dengan "bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (Q. S.
al-Kafirun/109: 6)
Ketiga, keadilan.
Keadilan merupakan pilar utama bagai tegaknya kemanusiaan.[32] Meskipun masyarakat madani didominasi oleh kelompok tertentu (semisal
muslim), namun hak-hak bukan muslim tetap dilindungi dan dijamin secara adil.
Tanpa adanya keadilan, masyarakat madani mustahil terwujud. Hukum sebagai salah
satu penopang masyarakat madani harus ditegakkan, tanpa penegakan hukum secara
adil maka hancurlah sebuah peradaban manusia. Sebagaimana dinyatakan Madjid
bahwa "hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika 'orang
diatas' melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi ketika 'orang bawah' melakukannya
pasti dihukum".[33] Selain keadilan hukum, keadilan dibidang yang lain juga harus
diberikan, seperti keadilan ekonomi dan keadilan politik. Keadilan ekonomi
artinya melindungi hak-hak kaum lemah, sehingga tidak tertindas, dan membatasi
kaum yang kuat sehingga tidak semena-mena. Maka dari itu, untuk melindung
hak-hak kaum lemah, dalam Islam terdapat konsep zakat. Dengan begitu,
kesenjangan sosial akibat ekonomi bisa dicegah, sehingga konflik yang akan
timbul akibat kesenjangan tersebut pun dapat diminimalisir. Keadilan politik
artinya memberikan hak dan kewajiban setiap orang untuk berpendapat dan
menyuarakan aspirasinya, selain hak memilih dan dipilih.
Keempat, keterbukaan.
Masyarakat madani bakal terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan
dalam masyarakat. Keterbukaan merupakan konskensi dari perikemanusiaan, suatu
pandangan yang melihat sesama manusia secara posistif yaitu bahwa manusia pada
dasarnya baik (Q. S. al-A'raf: 172; Q. S. al-Rum: 30). Ajaran kemanusiaan yang
suci ini membawa konskensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara
optimis dan positif, dengan menerapkan prasangka baik (husnuzhan), bukan
prasangka buruk kecuali untuk keperluan kewaspadaan seperlunya dalam keadaan
tertentu. Berdasarkan pandangan optismis positif itu, kita harus memandang
bahwa setiap manusia berpotensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap
manusia mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar. Dari
pihak yang mendengar, kesediaan mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral
yang amat penting, yaitu sikap rendah diri, berupa kesiapan mental untuk
menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan.
Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak selalu merasa benar,
kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana
yang baik. Dan musyarawah merupakan sarana interaksi positif berbagai individu
dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling
mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Itulah msayarakat demokratis,
yang berpangkal pada keteguhan wawasan etis dan moral berasaskan ketuhanan Yang
Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat madani.[34]
Selain zaman nabi, masyarakat madani juga tercermin dalam
masyarakat Andalusia, Spanyol. Dimana dalam masyarakat tersebut, ketiga agama –Islam,
Kristen dan Yahudi – hidup rukun, menyertai peradaban gemilang selama 500
tahun. Kerukunan tersebut tidak kemudian menyebabkan penyatuan agama. Sebagian
masyarakat Spanyol tetap berpegang teguh menganut Kristen. Tapi kerukunan
tersebut menghasilkan percampuran darah lebih dari pencampuran agama.[35] Bukan hanya hak-hak kaum
muslim saja yang terlindungi, tetapi hak-hak kaum non-muslim pun terjaga dan
terlindungi.
Peradaban inilah yang kemudian dipuji oleh Max Dimont, sebagimana
dikutip oleh Madjid.[36] Namun, berbeda dengan pluralisme di zaman nabi, pluralisme dan
demokrasi di Spanyol bersumber dari modernitas. Karena tanpa modernitas, sulit
sekali membayangkan Spanyol akan mengenal pluralisme. Hal inilah yang kemudian
membuat Cak Nur mensejajarkan antara Islam dan modernitas.[37]
BAB IV
RELASI ISLAM, PLURALISME DAN MASYARAKAT MADANI
A.
Relasi Islam, Pluralisme dan Masyarakat Madani
Relasi Pluralisme dan masyarakat madani adalah saling mengisi.
Dimana masyarakat madani tidak mungkin terwujud dalam satu kelompok masyarakat homogen
–yang memiliki kesamaan latar belakang, agama, suku, dan juga kebudayaan.
Apalagi di era global saat ini, keberagaman sudah merupakan bagian yang tak
terelakkan lagi di masyarakat. Masyarakat madani mempertemukan keseragaman itu
dalam satu titik temu (kalimah al sawa). Namun jika hanya
mempertemukannya saja, sebagaimana diungkapkan sebelumnya –perbedaaan seringkali menimbulkan dua potensi yaitu
konflik dan kemajuan serta dinamika sosial, maka kemungkinan konflik tidak bisa
terelakkan. Maka dari itu dibutuhkan sebuah aturan (din) yang dapat
mengatur keseragaman tersebut.
Ketiganya –Islam, Pluralisme dan masyarakat madani –saling mengisi.
Tanpa adanya Islam sebagai aturan dan dasar, mustahil masyarakat madani itu
terwujud. Bukan berarti bahwa harus mendirikan negara Islam, tetapi menggunakan
nilai-nilai keIslaman sebagai basis pembangunan masyarakat yang beradab,
seperti pengakuan terhadap pluralisme, toleransi, keadilan dan keterbukaan. Pluralisme
dan pengakuan terhadapnya merupakan keharusan. Tanpa adanya hal tersebut,
potensi konflik menjadi lebih besar. Karena tanpa pemahaman terhadap realitas
lain, bukan sekedar pengakuan, mustahil timbul kesaling pengertian, tenggang
rasa, toleransi, kerukunan dan penghargaan terhadap lain.
Menurut Cak Nur, pluralisme merupakan implikasi dari masyarakat
madani yang menjadikan Islam sebagai sumbernya.[38] Namun jika kita melihat, dengan perspektif yang agak berbeda, pluralisme
itulah yang menjadi basis masyarakat madani. Hal ini dapat kita bagaimana
pluralitas itulah yang kemudian mendasari pembentukan piagam madinah.
Di era global saat ini, pluralisme dapat dijadikan sebagai pondasi pendukung
terbentuknya masyarakat yang berkeadaban. Dengan mendasarkan basisnya pada
modernitas (dengan asumsi Islam sejajar dengan modernitas).[39]
Dalam konteks keindonesiaan, Indonesia sudah memiliki kedua basis
tersebut, yaitu Islam dan pluralisme,[40] tinggal bagaimana mengelola kedua potensi tersebut. Pengelolaan ini harus melibatkan seluruh
elemen secara demokratis –bersifat partisipatif dan emansipatoris. Tanpa
keterlibatan secara aktif, hanya sekedar ikut-ikutan atau berpartisipasi,
masyarakat madani konteks keindonesiaan hanyalah menjadi mimpi di siang bolong.
Disamping kedua basis di atas, Indonesia juga mempunyai factor
pendukung lainnya yaitu, pancasila. Pancasila adalah sebuah ideology bersama
(common platform), yang merupakan prinsip-prinsip yang menjadi titik temu
(kalimah al sawa) dan persamaan antara warga negara muslim Indonesia dan warga
negara non-muslim untuk mendukung republik Indonesia.[41] Itulah beberapa hal yang
dapat dijadikan sebagai landasan guna menciptakan masyarkat yang berkeadaban,
yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keberagaman, demokrasi dan keadilanbagi
seluruh rakyatnya.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pluralisme
agama (khususnya) muncul pada abad Eropa pada abad ke 18 Masehi sebagai respon
kondisi social masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap
intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang pada akhirnya menyeret
kepada pertumpahan darah antar-ras, sekte dan madzhab pada masa reformasi
keagamaan.
2.
Pluralisme
tidak bertentangan dengan Islam sebagaimana yang diungkapkan oleh cendikiawan
muslim di atas. Di dalam kitab suci pun terdapat beberapa ayat yang mendukung pluralisme,
yaitu: (Q. S. al-Hujurat/49: 13); (Q. S. al-Ma'idah/5: 48); (Q. S.
al-Baqarah/2: 148); (Q. S. 30: 22); (Q. S. 22: 26).
3.
Masyarakat
madani berasal dari civil society, namun dalam pemaknaannya masyarakat
madani mendasarkan kepada Ketuhanan, sedangkan masyarakat madani pada
social-politik. Masyarakat madani merujuk pada masyarakat madani yang terbuka,
demokratis, adil yang berlandasan ketuhanan. Ada beberapa factor yang mendukung
terciptanya masyarakat madani, yaitu: pangakuan terhadap pluralisme, toleransi,
keadilan dan keterbukaan.
4.
Relasi
Islam, dan pluralisme dalam memuwudkan masyarakat madani adalah saling mengisi,
bukan pertentangan. Islam mengakui pluralitas dan mendukung pluralisme, tanpa
adanya pluralisme mustahil terwujud masyarakat madani.
5.
Indonesia
telah memiliki bahan dasar masyarakat madani, yaitu Islam (sebagai aturan), pluralisme
(sebagai pendukung) dan pancasila sebagai (kalimah al-sawa). Tinggal
bagaimana mengelola ketiga unsur
tersebut guna mewujudkan masyarakat madani, salah satu wadahnya adalah
musayawarah atau dialog.
B.
Saran
1.
Perlunya
pemaknaan terhadap pluralism, harus dimaknai secara lokal (sesuai konteks),
sehingga tidak menjadikannya sebagai bomerang, tetapi sebagai basis penguatan
eksistensi secara kolektif.
2.
Sebagai
konsep masyarakat ideal, masyarakat madani harus ditafsirkan ulang secara
kontekstual sehingga tidak kehilangan makna universalnya dan dapat diterapkan
di negeri manapun dengan tetap menghargai kemanusiaan, keberagaman, kerukunan,
toleransi dengan landasan ketuhanan yang Maha Esa.
Daftar Pustaka
Effendi,
Djohan (ed.). Islam dan Pluralisme. cet. II. Yogyakarta: Interfidei.
2011.
Madjid,
Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. 2008.
Madjid,
Nurcholish. "Masyarakat Madani dan Investasi Demoktrasi" dalam Aziz
Musthofa (ed.). Kiprah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Madjid,
Nurcholish. "Menuju Masyarakat Madani", dalam Ulumul Qur'an, Vol.
7 No. 2. 1996.
Muhammad,
Husein. "Pluralisme sebagai Keniscayaan Teologis", pengantar dalam
Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis Al-Quran. Depok: Kata kita. 2009.
Rahardjo,
M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial.
cet. I. Jakarta: LP3ES. 1999.
Rahardjo,
M. Dawam. Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan. Jakarta:
Kencana. 2012.
Rahman,
Budhy Munawar. Islam dan Liberalisme. Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung. 2011.
Sheikh
Rashid Ghanoushi, "Pluralisme dan Monotheisme dalam Islam",
dalam Mansoor Al-Jamri dan Abdil Wahab El-Affendi. (Ed.) Islamisme, Pluralisme dan Civil Society.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 2007.
Sjadzali,
Munawir. Islam dan Negara. Jakarta: UI Press. 2008.
Thoha,
Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Cet. III. Jakarta:
Perspektif. 2007.
[1] Istilah Masyarakat Madani
digunakan pertama kali oleh Anwar Ibrahim, cendikiawan muslim Malaysia, dalam
Festival istiqlal di Jakarta tahun 1995. Lihat
M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, cet. I (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 145. Muncul berbagai pemaknaan terhadap istilah
"masyarakat madani". Ada yang memaknainya sebagai "masyarakat
kota", ada juga yang memaknainya sebagai "masyarakat berkeadaaban".
Lihat Nurcholish Madjid, "Menuju Masyarakat Madani", dalam Ulumul
Qur'an, Vol. 7 No. 2,1996, hal 51.
[2] Sheikh Rashid Ghanoushi,
"Pluralisme dan Monotheisme dalam Islam" dalam Islamisme, Pluralisme
dan Civil Society, (Ed. Mansoor Al-Jamri dan Abdil Wahab El-Affendi),
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hal 56.
[5] Thoha, Tren Pluralisme, hal 17.
Thoha mengutip pemikir iran kontemporer Dr. Muhammad Legenhausen, dari Jurnal
At-Tawhid, Vol 14, No. 3, Fall, 1997, hal 115. Dalam jurnal tersebut,
Legenhausen menulis sebuah artikel tentang "Islam dan Religious
Pluralisme".
[6] Lihat Budhy Munawar
Rahman, Islam dan Liberalisme, (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung,
2011), hal. 190.
[8] M. Dawam Raharjo, Merayakan
Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan, (Jakarta: Kencana, 2012), hal
240.
[10] Seorang cendikiawanmuslim kelahiran
Mesir. Mengajar di beberapa universitas di Timur Tengah, Asia dan Barat.
Bekerja pada the Institute of the Study of the Role of Islam in the
Contemporary World, Omar Khattab Foundation di Los Angeles.
[11] Fathi Osman, "Islam
dan Pluralisme dalam Era Global" dalam Djohan Effendi (ed.), Islam dan
pluralisme, cet. II (Yogyakarta: Interfidei, 2011), hal. 74.
[12] Dalam dunia kontemporer,
pluralisme melingkupi tiga pengertian, yaitu: pertama , penerimaan aktif
dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun bersama (sebagaimana di atas),
kedua, penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain dan ketiga, pluralisme
bukan relativisme. Lihat Rahman, Islam dan Liberalisme, hal. 201-202.
[15] Lihat Rahman, Islam
dan Liberalisme, hal. 204. Untuk
lebih jelasnya lihat Mun'in A. Sirry, Fikih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2003), khususnya hal.
17, 61.
[20] Istilah "masyarakat
sipil" dipakai oleh Dr. Mansoer Fakih, namun pengertian tersebut tidak
tepat. Karena sipil meruapakn tandingan militer, yang dalam konteks masyarakat
Indonesia terdapat dalam bentuk dwi-fungsi ABRI. Sementara itu, istilah
"masyarakat warga/kewargaan" ditawarkan oleh Lembaga Etika Atmajaya.
Meskipun bersikap lebih netral, istilah ini pun tidak memuaskan. Lihat
Rahardjo, Masyarakat Madani, hal. 133-134.
[22] Dalam bahasa arab,
peradaban dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" dan "tamaddun",
selain kata "hadlarah". Lihat Madjid, "Menuju Masyarakat
Madani", hal. 51.
[25] Nurcholish Madjid, "Masyarakat
Madani dan Investasi Demokrasi" dalam Aziz Musthofa (ed.) Kiprah Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 187.
[27] Penjabaran lengkap 47
ayat tersebut lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Negara, (Jakarta: UI
Press, 2008), hal. 10-15. Untuk melihat bagaimana pasal-pasal tersebut
diputuskan, baca Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Berbasis Al-Quran, (Depok: Kata kita, 2009), hal. 92.
[32] Husein Muhammad,
"Pluralisme sebagai keniscayaan Teologis", pengantar dalam Ghazali, Argumen
Pluralisme, hal. XVIII.
[38] Lihat Madjid, "Menuju Masyarakat
Madani", hal. 55; lihat juga Madjid, "masyarakat Madani", hal.
190-192.
[39] Asumsi tersebut dilontarkan Cak Nur melalui
bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban. Dalam buku tersebut Cak Nur mengutip
Robert. N. Bellah, seorang Sosiolog agama dari Amerika. Untuk lebih jelasnya
lihat Madjid,
Islam, hal. LXXXV.
lumayan menarik....tugas kuliah toh?
BalasHapusitu makalah lk 2 bang....
BalasHapushehehe