2013-04-11

Islam dan Pluralisme: Antara Pertengkaran atau Saling Mengisi dalam Mewujudkan Masyarakat Madani


ISLAM DAN PLURALISME:
ANTARA PERTENGKARAN ATAU SALING MENGISI DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI 
Oleh: Syarifuddin el-Azizy

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai sebuah agama, yang muncul 14 abad silam di Arab, dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang dan masih sangat relevan dengan kondisi dunia modern yang rasionalistis dan progressif. Sebagai agama yang muncul di dataran kering, Islam menawarkan konsep pembebasan dengan menggunakan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan dan juga ketuhanan (tauhid). Wacana pembebasannya pun kemudian menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, meskipun pada awalnya mendapat perlawanan sengit dari penguasa Quraisy yang otoriter. Namun, berkat perjuangan kaum muslimin, dengan petunjuk Tuhan melalui Nabi Muhammad saw., akhirnya kaum muslimin menang dan dengan menggunakan prinsip keadilan, kemanusian serta ketuhanan dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadaban (masyarakat madani). Adalah Nabi Muhammad, seorang pemuda ummi yang mendapat wahyu Tuhan yang memimpin gerakan tersebut. Pasca wafatnya nabi, Islam dipimpin oleh sahabat-sahabat nabi yang dikenal dengan khalafaur rasyidin, mereka itu adalah Abu Bakar As-Shiddiq ra, Umar ibn Khattab ra, Utsman ibn Affan ra, dan Ali ibn Thalib kw.
Konsep tauhid yang dibawa Nabi Muhammad menjadi sebuah pondasi utama lahirnya kehidupan masyarakat yang berkeadaban (masyarakat madani),[1] yang akan diuraikan lebih jelas dalam makalah ini,  sebuah masyarakat "ideal" yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, keterbukaan dan demokrasi yang berlandaskan tawhid. Dalam masyarakat madinah tersebut, penganut agama-agama seperti Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan, begitu juga anggota-anggota suku Quraisy. Meskipun begitu, perbedaaan (agama dan suku ini) tidak kemudian menjadikan mereka bermusuhan.  
Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Perbedaan-perbedaan merupakan norma alami yang bersifat universal dan merupakan salah satu tanda kemahabesaran sang Pencipta.[2] Perbedaan sering kali dimaknai secara negatif sehingga memunculkan konflik dan pertikaian. Sementara itu Islam melihat perbedaan sebagai rahmatan lil alamin. Secara tegas, kitab suci menyatakan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda supaya mereka saling mengenal satu sama lain (Q. S. Al-Baqarah/2: 213). Bukan kemudian saling bertikai, berkonflik dan melakukan pertumpahan darah.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Konsep Pluralisme dalam Islam?
2.      Masyarakat Madani dan Islam?
3.      Bagaimana Relasi Islam, Pluralisme dan Masyarakat Madani?

C.    Metodologi
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan  (library research), yaitu menggunakan sumber-sumber yang berhubungan dengan tema yang penulis angkat dalam makalah ini, baik itu berupa buku, jurnal, media cetak maupun elektronik lainnya.
D.    Sistematika penulisan
Bab pertama, pembahasan diawali pendahuluan sebagai pengantar untuk bab-bab selanjutnya. Di sini dijelaskan latar belakang masalah, untuk memberikan uraian tentang makalah ini. Rumusan masalah untuk mengfokuskan pada masalah yang diangkat. Metodologi dimaksudkan untuk mengetahui metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini. Kemudian yang terakhir sistematika yang menjelaskan secara singkat sistematika yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab kedua, menyajikan sejarah dan latar belakang munculnya pluralisme. Bagaimana makna pluralisme dan bagaimana pandangan Islam tentang pluralisme.
Bab ketiga, menguraikan tentang civil society dan masyarakat madani secara historis, dan bagaimana masyarakat madani perspektif Islam.
Bab empat, menjelaskan tentang relasi Islam, pluralisme dan masyarakat madani, dan bagaimana konteks ke indonesiaan.
Bab lima, bagian terakhir yang berisi penutup terdiri kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah dan berisi saran-saran.

BAB II
PLURALISME DALAM ISLAM
A.    Sejarah Pluralisme
Sebagai wacana kontemporer, pluralisme masih menjadi isu hangat untuk diperbincangkan. Muncul berbagai perspektif dalam memaknai istilah tersebut. Ada yang menolaknya serta merta dengan alasan berseberangan dengan nilai-nilai fundamen keagamaan, tetapi ada juga yang menerimanya –bahwa konsep itupun sudah ada dalam agama yang dianutnya. Munculnya berbagai perspektif ini memperkaya khazanah keilmuan, terutama bagi kalangan cendikiawan, akademisi maupun kelompok lainnya yang menggeluti studi pemikiran.
Sebelum memasuki bagaimana pandang Islam tentang pluralisme, terlebih dahulu kita merujuk tentang apa itu pluralisme (secara umum) dan bagaimana terbentuknya konsep tersebut.
Ada sebuah buku menarik yang mengulas tentang pluralisme dan bagaimana terbentuknya konsep tersebut. Buku tersebut berjudul "Tren Pluralisme Agama: Tinjaun Kritis" yang ditulis oleh Dr. Anis Malik Thoha.[3] Dalam buku ini, Thoha mengungkapkan pluralisme agama (khususnya) muncul pada abad yang disebut Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke 18 Masehi, masa yang disebut sebagai permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern.[4] Kemenangan sains atas otoritas keagamaan yang ditandai oleh reformasi Gereja merupakan awal bangkitnya pemikiran modern tersebut, yang ditandai dengan munculnya suatu paham yang dikenal dengan "Liberalisme", yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman atau pluralisme. Liberalisme sebagai suatu paham kemudian memunculkan munculnya paham-paham lain yang lahir dari rahimnya, yaitu sekularisme, dan dari sekularisme inilah lahir pluralisme.
Munculnya gerakan Liberalisme di Eropa sebagian besar didorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar-ras, sekte dan madzhab pada masa reformasi keagamaan.[5] Dari pemaparan di atas, jelas kiranya bahwa Liberalisme lahir sebagai respon sosial-politik yang carut marut pada masa reformasi (gereja).
Pada abad ke-20 gagasan pluralisme meluas bukan hanya pada satu kelompok keagamaan saja (baca: Kristen), tetapi juga mencakup ke komunitas-komunitas lain di seluruh dunia. Akibat nyata dari gagasan pluralisme yaitu direvisinya doktrin keagamaan gereja katolik yang menyatakan extra eccleasiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dengan mengakui bahwa "ada keselamatan lain di luar gereja" pada konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965, yang banyak dipengaruhi oleh seorang teolog katolik bernama Karl Rahner.[6] Rahner berpandangan bahwa:
Penganut agama lain mungkin menerima karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen (Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal sebagai orang "Kristen anonim" (anonymus Christian). Yesus tetap menjadi norma dimana kebenaran berada, dan dimana jalan keselamatan diperoleh. Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama Kristiani agar mendapatkan kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. … agama lain adalah sebenarnya bentuk implicit dari agama Kristiani. Keselamatan universal secara ontologism berdasarkan tindakan kreatif Allah dan secara historis dihadirkan dalam peristiwa dalam peristiwa Yesus. [7]
           
B.     Makna pluralisme
Muncul berbagai perspektif terkait pemaknaan istilah pluralisme, sehingga menimbulkan reaksi berbeda pula.  Pluralisme, menurut Dawam Rahardjo adalah suatu paham yang merupakan respons terhadap pluralitas.[8] Pluralisme ini cenderung mengarah pada pandangan pascamodern atau biasa disebut dengan post-modern, yaitu ingin memelihara keragaman melalui interaksi, dialog saling pemahaman, dan penghargaan.  Sementara itu Nurcholish Madjid, mengartikan pluralisme  sebagai sebuah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak dilawan atau diingkari.[9]
Menurut Fathi Osman,[10] pluralisme adalah bentuk institusional yang merima keragaman yang terjadi dalam masyarakat tertentu dan dalam dunia sebagai keseluruhan, maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif.[11] Tidak jauh berbeda dari Osman, ada juga yang memaknai pluralisme sebagai keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama.[12]
Dengan pemahaman, bukan sekedar mengetahui, terhadap yang lain diharapkan tercipta perdamaian, interaksi dan kesepahaman dan penghargaan. Kemajemukan merupakan keniscayaan. Kemajemukan atau keanekaragaman seringkali mengandung dua potensi, yaitu: pertama, potensi konflik dan disintegrasi. Namun sebaliknya, kedua, berpotensi sebagai sumber dinamika perubahan sosial dan kemajuan.[13] Tinggal bagaimana kita mengelola kedua potensi itu, apakah dijadikan landasan untuk memusuhi, menciptakan konflik atau memanfaatnya untuk kepantingan bersama, menuju kemajuan dan peradaban yang lebih baik.
Untuk mengelola keberagaman dibutuhkan suatu wadah yang mampu menjadi titik temu berbagai macam eksistensi yang beragam tersebut, wadah tersebut adalah dialog. Dalam konteks keagamaan, terdapat dialog intra-umat beragama dan juga dialog antar-umat beragama. Dalam dialog tersebut, tidak dimaksudkan untuk mengunggulkan kelompok satu dan merendahkan kelompok lain, tetapi mencari titik temu (kalimah al sawa) antar-keberagaman itu. Dalam konteks keagamaan, antar umat beragama dapat bertemu satu dengan yang lain dalam ranah ketuhanan (sama-sama bertuhan, terlepas bagaimana pemahaman terhadap Tuhan) dan juga kemanusiaan (karena agama itu sendiri untuk manusia, bukan untuk Tuhan). 
C.    Pluralisme dan Islam
Setelah kita mengetahui makna dan apa itu pluralisme, bagaimana Islam memandang pluralisme? Jika di awal tadi disebutkan bahwa pluralisme berasal dari Barat (Eropa), namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah ia juga ada dalam Islam. Jika ada, apakah ia bertentangan dengan nilai dasar Islam, Tauhid?
Pluralisme bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Sebab secara teologis maupun historis, Islam tidak bisa dilepaskan dari agama-agama lain.[14] Perjumpaan dengan agama-agama lain tidak kemudian menjadikan Islam tertutup atau menutupi dirinya, tapi kemudian Islam menghargai, mengakui dan menghormati agama lain serta memberikan kebebasan kepada pemeluk agama tersebut untuk menjalankan agamanya, sebagaimana disebutkan dalam kitab suci (Q. S. al-Baqarah/2: 256). Pengakuan terhadap agama lain, khususnya Kristen dan Yahudi, bahkan meletakannya sebagai satu jalur ketuhanan (monotheisme) merujuk kepada Ibrahim (lelehur ketiga agama tersebut,maka dari itu ketiganya disebut juga  sebagai abrahamic religions). Dengan adanya titik temu ini Islam memberi landasan teologis bagi pemeluknya untuk menerima pluralisme, yaitu suatu konsep keberagaman  mengenai keberadaan agama-agama lain dan mengadakan hubungan baik dengan para pemeluknya.[15]
Sheikh Rashid Ghanoushi dalam "Islamisme, Pluralisme dan Civil Society" menyatakan bahwa "antara pluralisme dan landasan Islam tidak ada kontradiksi mengenai kesaksian tentang monoteisme (syahadat tawhid) yang muthlak.[16] Tidak berbeda dengan Ghanoushi, Nurcholis Madjid (atau Cak Nur) juga menyatakan bahwa "pluralisme sebagai salah satu ajaran pokok Islam yang amat relevan dengan zaman",[17] dari kedua pendapat cendekiawan muslim di atas nampaknya dalam Islam sendiri tidak menolak pluralisme, karena pluralisme sendiri ada di Islam dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai tauhid.
Memang kita tidak dapat membatasi makna pluralisme hanya dari satu sudut pandang, karena setiap manusia dengan kemampuan nalarnya diberi kebebasan untuk menafsirkan. Sebagaimana istilah pluralisme, Islam juga (sebagai keyakinan, budaya, dan peradaban) tidak pernah dipahami dan ditafsirkan secara tunggal, seperti diungkapkan Mehmet S. Aydin dalam buku "Islam dan Pluralisme".[18] Ada yang memaknai Islam secara eksklusif sebagai institusi agama, ada juga yang memaknai secara inklusif sebagai sikap ketundukan terhadap Tuhan atau Islam Generik, meminjam ungkapan Cak Nur.
Di dalam paragraf  di atas, disebutkan bahwa pluralisme tidak bertentangan dengan Islam, lalu bagaimana bagaimanakah jika pluralisme ditinjau dari kitab suci? Dalam kitab suci ada beberapa ayat yang mendukung pluralisme, yaitu:
1.      "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Tuhan ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui" (Q. S. al-Hujurat/49: 13)
2.      "Untuk setiap umat di antara kamu, Kami telah berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya kamu Ia jadikan umat yang tunggal. Tetapi Ia hendak menguji kamu berkenaan dengan apa yang telah Ia anugrahkan kepada kamu. Maka berpaculah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah kembalimu semua, kemudian Ia akan jelaskan kepadamu tentang segala hal yang kamu pernah berselisih di dalamnya." (Q. S. al-Ma'idah/5: 48)
3.      "Bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada hari akhirat). Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu." (Q. S. al-Baqarah/2: 148)
4.      "Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, dan perbedaan bahasa dan warna kulit. Sungguh dalam hal itu terdapat tanda-tanda yang nyata bagi yang mengetahui." (Q. S. 30: 22)
5.      "bagi tiap umat kami jadikan cara beribadat yang harus mereka lakukan, maka janganlah mereka bertengkat mengenai hal itu. Dan berdoalah kepada Tuhan engkau, sesungguhnya engkau berada di atas petunjuk yang benar". (Q. S. al-Hajj/22: 26)

BAB III
MASYARAKAT MADANI DAN ISLAM           
A.    Civil Society dan Masyarakat Madani
Sebelum membahas tentang konsep masyarakat madani, perlu kiranya kita merujuk tentang konsep Civil Society, yang dalam konteks keindonesiaan diterjemahkan dengan istilah "masyarakat madani", terlebih dahulu. Sehingga nantinya dalam pembahasan ini tidak mengalami ahistoris. Karena istilah ini tidak muncul secara spontan di masyarakat, tetapi memiliki geneologi tersendiri.
Civil Society merupakan istilah yang beredar dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke 18 di Eropa Barat dan masih berlanjut hingga akhir abad ke 19.[19] Di Indonesia Istilah Civil Society diterjemahkan menjadi "masyarakat sipil", "masyarakat warga/kewargaan", atau "masyarakat madani".[20]
Secara harfiah, Civil Society merupakan terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 SM). Cicero menyebut Civil Society sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya kode hukum yang mengatur pergaulan individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri, berbeda dengan masyarakat alami yang belum memiliki kesepakatan hukum bersama. Menurut Dawam Rahardjo, "Pengertian ini erat kaitannya bahkan merupakan bagian dari konsep tentang bangsa atau warga Romawi yang hidup di kota-kota yang memiliki kode hukum (ius civile) yang merupakan ciri dari masyarakat atau komunitas politik yang beradab (civilized political community) dibandingan dengan masyarakat di luar Romawi yang belum beradab".[21]
Di zaman modern, istilah ini dimunculkan kembali ke permukaan oleh John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778) untuk mengungkapkan pemikirannya tentang masyarakat dan politik. Locke  mendefinisikan civil Society sebagai masyarakat politik (political society). Dalam pengertiannya, civil society dicirikan dengan terdapatnya tata kehidupan politik yang terkait pada hukum yang didukung kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem uang sebagai alat tukar, terjadinya tukar-menukar dalam sebuah pasar bebas serta berkembangnya teknologi yang dipakai untuk mensejahterakan dan memuliakan hidup. Itulah ciri masyarakat yang telah beradab perspektif Locke.
Sementara itu, Rousseau, seorang filsuf sosial Perancis abad ke 18,  memandang "masyarakat politik" sebagai masyarakat yang terbentuk sebagai hasil dari suatu perjanjian masyarakat (sosial contract). Dalam konsep perjanjian masyarakat tersebut, setiap anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama. Masyarakat seperti ini membedakan diri dari keadaan alami suatu masyarakat.
B.     Pengertian Masyarakat Madani
Setelah kita mengetahui makna civil society, barulah kita merujuk pada masyarakat madani. Istilah masyarakat madani merujuk pada masyarakat madinah. Secara konvensional, madinah dapat diartikan sebagai "kota". Tetapi, secara kebahasaan, madinah dapat diartikan sebagai "peradaban".[22] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban atau masyarakat beradab.
Dalam perspektif Islam, masyarakat madani lebih mengacu pada penciptaan peradaban.[23] Membangun atau menciptakan masyarakat madinah itulah yang dilakukan oleh Nabi selama 10 tahun di Madinah.[24] Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Landasan ketuhanan inilah, yang kemudian meresap dan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yang membedakan konsep masyarakat madani dengan konsep civil society  ala para filsuf barat.
Masyarakat yang beradab dicirikan dengan menjunjung tinggi moralitas atau berbudi luhur. Karena moralitas yang  luhur  akan menciptakan perilaku yang baik, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, sehingga melahirkan kesadaran hukum. Kesadaran hukum inilah yang mendukung terciptanya peradaban yang tinggi, yang juga disokong dengan kesejahteraan masyarakatnya secara ekonomi dan juga keterlibatan masyarakat secara politik (berprinsip demokratis). Atau dengan bahasa lain, masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban karena tunduk dan patuh (danayadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan.[25]
Dalam sejarah Islam, masyarakat beradab pertama kali adalah masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad. Masyarakat tersebut bukan hanya terdiri dari satu kelompok (agama atau suku) saja, tetapi beragam. Di masyarat inilah tiga agama yang berbeda (Islam, Yahudi dan Kristen) hidup berdampingan pertama kali dalam satu kelompok sosial, yang diikat dengan sebuah konstitusi yang disebut konstitusi madinah (bahasa arab, mitsaq al madinah). Inilah dokumen konstitusi politik pertama dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi.[26] Konstitusi tersebut berisi 47 ayat[27] yang inti dari konstitusi tersebut, yaitu pertama, pengakuan bahwa mereka merupakan satu kesatuan sosial yang disebut al-ummah (umat), kedua, mereka tunduk dan berorientasi pada nilai-nilai luhur (virtue) yang disebut al-khair atau kebajikan. Ketiga, mekanisme itu untuk menegakkan yang baik (ma'ruf) dan mencegah yang buruk (mungkar).[28]
Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya masyarakat madani, yaitu: pertama, pengakuan terhadap pluralisme. Pengakuan terhadap pluralisme tersebut tidak sekedar pengakuan semata-mata, tetapi juga harus disertai sikap yang tulus untuk menerima kemajemukan itu secara positif, sebagai rahmat Tuhan yang akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang yang beraneka ragam.[29]
Kedua, toleransi. Sebagai basis pluralisme tidak dapat berdiri sendiri, namun juga harus diikuti dengan toleransi. Tanpa adanya toleransi, pluralisme akan pincang.  Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya masyarakat keadaban itu, sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility).[30] Islam bukan sekedar mengakui tetapi juga melindungi kelompok lain. Dalam Islam dikenal konsep dzimmah, yang dikagumi oleh Bertrans Russel –seorang ateis radikal –yakni perlindungan, dalam hal perlindungan kepada golongan bukan muslim penganut kitab suci (ahl al-kitab).[31] Bahkan ditegaskan dalam kitab suci, bahwa "seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi, seluruhnya! Maka apakah engkau (hai Muhammad) akan memaksa manusia sehingga beriman semua" (Q. S. Yunus/10: 99). Di ayat lain juga ditegaskan bahwa "tidak ada paksaan dalam agama: sesungguhnya jalan hidup benar telah jelas berbeda dari jalan hidup yang sesat" (Q. S. al-Baqarah/2: 256) dan dipertegas lagi dengan "bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (Q. S. al-Kafirun/109: 6)  
Ketiga, keadilan. Keadilan merupakan pilar utama bagai tegaknya kemanusiaan.[32] Meskipun masyarakat madani  didominasi oleh kelompok tertentu (semisal muslim), namun hak-hak bukan muslim tetap dilindungi dan dijamin secara adil. Tanpa adanya keadilan, masyarakat madani mustahil terwujud. Hukum sebagai salah satu penopang masyarakat madani harus ditegakkan, tanpa penegakan hukum secara adil maka hancurlah sebuah peradaban manusia. Sebagaimana dinyatakan Madjid bahwa "hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika 'orang diatas' melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi ketika 'orang bawah' melakukannya pasti dihukum".[33] Selain keadilan hukum, keadilan dibidang yang lain juga harus diberikan, seperti keadilan ekonomi dan keadilan politik. Keadilan ekonomi artinya melindungi hak-hak kaum lemah, sehingga tidak tertindas, dan membatasi kaum yang kuat sehingga tidak semena-mena. Maka dari itu, untuk melindung hak-hak kaum lemah, dalam Islam terdapat konsep zakat. Dengan begitu, kesenjangan sosial akibat ekonomi bisa dicegah, sehingga konflik yang akan timbul akibat kesenjangan tersebut pun dapat diminimalisir. Keadilan politik artinya memberikan hak dan kewajiban setiap orang untuk berpendapat dan menyuarakan aspirasinya, selain hak memilih dan dipilih.  
Keempat, keterbukaan. Masyarakat madani bakal terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan merupakan konskensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara posistif yaitu bahwa manusia pada dasarnya baik (Q. S. al-A'raf: 172; Q. S. al-Rum: 30). Ajaran kemanusiaan yang suci ini membawa konskensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, dengan menerapkan prasangka baik (husnuzhan), bukan prasangka buruk kecuali untuk keperluan kewaspadaan seperlunya dalam keadaan tertentu. Berdasarkan pandangan optismis positif itu, kita harus memandang bahwa setiap manusia berpotensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap manusia mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mendengar, kesediaan mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah diri, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan.
Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak selalu merasa benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang baik. Dan musyarawah merupakan sarana interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Itulah msayarakat demokratis, yang berpangkal pada keteguhan wawasan etis dan moral berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat madani.[34]
Selain zaman nabi, masyarakat madani juga tercermin dalam masyarakat Andalusia, Spanyol. Dimana dalam masyarakat tersebut, ketiga agama –Islam, Kristen dan Yahudi – hidup rukun, menyertai peradaban gemilang selama 500 tahun. Kerukunan tersebut tidak kemudian menyebabkan penyatuan agama. Sebagian masyarakat Spanyol tetap berpegang teguh menganut Kristen. Tapi kerukunan tersebut menghasilkan percampuran darah lebih dari pencampuran agama.[35]  Bukan hanya hak-hak kaum muslim saja yang terlindungi, tetapi hak-hak kaum non-muslim pun terjaga dan terlindungi.
Peradaban inilah yang kemudian dipuji oleh Max Dimont, sebagimana dikutip oleh Madjid.[36] Namun, berbeda dengan pluralisme di zaman nabi, pluralisme dan demokrasi di Spanyol bersumber dari modernitas. Karena tanpa modernitas, sulit sekali membayangkan Spanyol akan mengenal pluralisme. Hal inilah yang kemudian membuat Cak Nur mensejajarkan antara Islam dan modernitas.[37]

BAB IV
RELASI ISLAM, PLURALISME DAN MASYARAKAT MADANI
A.    Relasi Islam, Pluralisme dan Masyarakat Madani
Relasi Pluralisme dan masyarakat madani adalah saling mengisi. Dimana masyarakat madani tidak mungkin terwujud dalam satu kelompok masyarakat homogen –yang memiliki kesamaan latar belakang, agama, suku, dan juga kebudayaan. Apalagi di era global saat ini, keberagaman sudah merupakan bagian yang tak terelakkan lagi di masyarakat. Masyarakat madani mempertemukan keseragaman itu dalam satu titik temu (kalimah al sawa). Namun jika hanya mempertemukannya saja, sebagaimana diungkapkan sebelumnya –perbedaaan  seringkali menimbulkan dua potensi yaitu konflik dan kemajuan serta dinamika sosial, maka kemungkinan konflik tidak bisa terelakkan. Maka dari itu dibutuhkan sebuah aturan (din) yang dapat mengatur keseragaman tersebut.
Ketiganya –Islam, Pluralisme dan masyarakat madani –saling mengisi. Tanpa adanya Islam sebagai aturan dan dasar, mustahil masyarakat madani itu terwujud. Bukan berarti bahwa harus mendirikan negara Islam, tetapi menggunakan nilai-nilai keIslaman sebagai basis pembangunan masyarakat yang beradab, seperti pengakuan terhadap pluralisme, toleransi, keadilan dan keterbukaan. Pluralisme dan pengakuan terhadapnya merupakan keharusan. Tanpa adanya hal tersebut, potensi konflik menjadi lebih besar. Karena tanpa pemahaman terhadap realitas lain, bukan sekedar pengakuan, mustahil timbul kesaling pengertian, tenggang rasa, toleransi, kerukunan dan penghargaan terhadap lain. 
Menurut Cak Nur, pluralisme merupakan implikasi dari masyarakat madani yang menjadikan Islam sebagai sumbernya.[38] Namun jika kita melihat, dengan perspektif yang agak berbeda, pluralisme itulah yang menjadi basis masyarakat madani. Hal ini dapat kita bagaimana pluralitas itulah yang kemudian mendasari pembentukan piagam madinah.
Di era global saat ini, pluralisme dapat dijadikan sebagai pondasi pendukung terbentuknya masyarakat yang berkeadaban. Dengan mendasarkan basisnya pada modernitas (dengan asumsi Islam sejajar dengan modernitas).[39]
Dalam konteks keindonesiaan, Indonesia sudah memiliki kedua basis tersebut, yaitu Islam dan pluralisme,[40] tinggal bagaimana mengelola kedua potensi tersebut.  Pengelolaan ini harus melibatkan seluruh elemen secara demokratis –bersifat partisipatif dan emansipatoris. Tanpa keterlibatan secara aktif, hanya sekedar ikut-ikutan atau berpartisipasi, masyarakat madani konteks keindonesiaan hanyalah menjadi mimpi di siang bolong.
Disamping kedua basis di atas, Indonesia juga mempunyai factor pendukung lainnya yaitu, pancasila. Pancasila adalah sebuah ideology bersama (common platform), yang merupakan prinsip-prinsip yang menjadi titik temu (kalimah al sawa) dan persamaan antara warga negara muslim Indonesia dan warga negara non-muslim untuk mendukung republik Indonesia.[41]  Itulah beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai landasan guna menciptakan masyarkat yang berkeadaban, yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keberagaman, demokrasi dan keadilanbagi seluruh rakyatnya. 
 
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pluralisme agama (khususnya) muncul pada abad Eropa pada abad ke 18 Masehi sebagai respon kondisi social masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar-ras, sekte dan madzhab pada masa reformasi keagamaan.
2.      Pluralisme tidak bertentangan dengan Islam sebagaimana yang diungkapkan oleh cendikiawan muslim di atas. Di dalam kitab suci pun terdapat beberapa ayat yang mendukung pluralisme, yaitu: (Q. S. al-Hujurat/49: 13); (Q. S. al-Ma'idah/5: 48); (Q. S. al-Baqarah/2: 148); (Q. S. 30: 22); (Q. S. 22: 26).
3.      Masyarakat madani berasal dari civil society, namun dalam pemaknaannya masyarakat madani mendasarkan kepada Ketuhanan, sedangkan masyarakat madani pada social-politik. Masyarakat madani merujuk pada masyarakat madani yang terbuka, demokratis, adil yang berlandasan ketuhanan. Ada beberapa factor yang mendukung terciptanya masyarakat madani, yaitu: pangakuan terhadap pluralisme, toleransi, keadilan dan keterbukaan.
4.      Relasi Islam, dan pluralisme dalam memuwudkan masyarakat madani adalah saling mengisi, bukan pertentangan. Islam mengakui pluralitas dan mendukung pluralisme, tanpa adanya pluralisme mustahil terwujud masyarakat madani.
5.      Indonesia telah memiliki bahan dasar masyarakat madani, yaitu Islam (sebagai aturan), pluralisme (sebagai pendukung) dan pancasila sebagai (kalimah al-sawa). Tinggal bagaimana mengelola ketiga unsur  tersebut guna mewujudkan masyarakat madani, salah satu wadahnya adalah musayawarah atau dialog.
B.     Saran
1.      Perlunya pemaknaan terhadap pluralism, harus dimaknai secara lokal (sesuai konteks), sehingga tidak menjadikannya sebagai bomerang, tetapi sebagai basis penguatan eksistensi secara kolektif.
2.      Sebagai konsep masyarakat ideal, masyarakat madani harus ditafsirkan ulang secara kontekstual sehingga tidak kehilangan makna universalnya dan dapat diterapkan di negeri manapun dengan tetap menghargai kemanusiaan, keberagaman, kerukunan, toleransi dengan landasan ketuhanan yang Maha Esa.
Daftar Pustaka
Effendi, Djohan (ed.). Islam dan Pluralisme. cet. II. Yogyakarta: Interfidei. 2011.
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. 2008.
Madjid, Nurcholish. "Masyarakat Madani dan Investasi Demoktrasi" dalam Aziz Musthofa (ed.). Kiprah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Madjid, Nurcholish. "Menuju Masyarakat Madani", dalam Ulumul Qur'an, Vol. 7 No. 2. 1996.
Muhammad, Husein. "Pluralisme sebagai Keniscayaan Teologis", pengantar dalam Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran. Depok: Kata kita. 2009.
Rahardjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. cet. I. Jakarta: LP3ES. 1999.
Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan. Jakarta: Kencana. 2012.
Rahman, Budhy Munawar. Islam dan Liberalisme. Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung. 2011.
Sheikh Rashid Ghanoushi, "Pluralisme dan Monotheisme dalam Islam", dalam Mansoor Al-Jamri dan Abdil Wahab El-Affendi. (Ed.)  Islamisme, Pluralisme dan Civil Society. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2007.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Negara. Jakarta: UI Press. 2008.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Cet. III. Jakarta: Perspektif. 2007.

[1]  Istilah Masyarakat Madani digunakan pertama kali oleh Anwar Ibrahim, cendikiawan muslim Malaysia, dalam Festival istiqlal di Jakarta tahun 1995. Lihat  M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, cet. I (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 145. Muncul  berbagai pemaknaan terhadap istilah "masyarakat madani". Ada yang memaknainya sebagai "masyarakat kota", ada juga yang memaknainya sebagai "masyarakat berkeadaaban". Lihat Nurcholish Madjid, "Menuju Masyarakat Madani", dalam Ulumul Qur'an, Vol. 7 No. 2,1996, hal 51.
[2]  Sheikh Rashid Ghanoushi, "Pluralisme dan Monotheisme dalam Islam" dalam Islamisme, Pluralisme dan Civil Society, (Ed. Mansoor Al-Jamri dan Abdil Wahab El-Affendi), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hal 56.
[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Cet. III (Jakarta: Perspektif, 2007).
[4] Thoha, Tren Pluralisme, hal. 16.
[5] Thoha, Tren Pluralisme, hal 17. Thoha mengutip pemikir iran kontemporer Dr. Muhammad Legenhausen, dari Jurnal At-Tawhid, Vol 14, No. 3, Fall, 1997, hal 115. Dalam jurnal tersebut, Legenhausen menulis sebuah artikel tentang "Islam dan Religious Pluralisme".
[6]  Lihat Budhy Munawar Rahman, Islam dan Liberalisme, (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2011), hal. 190.
[7]  Dikutip dari Rahman, Islam dan Liberalisme,  hal. 190-191.
[8] M. Dawam Raharjo, Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan, (Jakarta: Kencana, 2012), hal 240. 
[9]  Madjid, Islam, hal. lxxxi
[10] Seorang cendikiawanmuslim kelahiran Mesir. Mengajar di beberapa universitas di Timur Tengah, Asia dan Barat. Bekerja pada the Institute of the Study of the Role of Islam in the Contemporary World, Omar Khattab Foundation di Los Angeles.
[11]  Fathi Osman, "Islam dan Pluralisme dalam Era Global" dalam Djohan Effendi (ed.), Islam dan pluralisme, cet. II (Yogyakarta: Interfidei, 2011), hal. 74.
[12]  Dalam dunia kontemporer, pluralisme melingkupi tiga pengertian, yaitu: pertama , penerimaan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun bersama (sebagaimana di atas), kedua, penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain dan ketiga, pluralisme bukan relativisme. Lihat Rahman, Islam dan Liberalisme,  hal. 201-202.
[13]  Lihat dalam Raharjo, Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan, hal. 238.
[14]  Lihat Rahman, Islam dan Liberalisme,  hal. 200.

[15]  Lihat Rahman, Islam dan Liberalisme,  hal. 204. Untuk lebih jelasnya lihat Mun'in A. Sirry, Fikih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2003), khususnya hal. 17, 61.
[16]  Sheikh Rashid Ghanoushi, Pluralisme dan Monotheisme dalam Islam,hal 53.
[17]  Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), hal. Lxxxix.
[18]  Djohan Effendi (ed.), Islam dan pluralisme, cet. II (Yogyakarta: Interfidei, 2011), hal. 53.
[19]  Rahardjo, Masyarakat Madani, hal. 133.
[20]  Istilah "masyarakat sipil" dipakai oleh Dr. Mansoer Fakih, namun pengertian tersebut tidak tepat. Karena sipil meruapakn tandingan militer, yang dalam konteks masyarakat Indonesia terdapat dalam bentuk dwi-fungsi ABRI. Sementara itu, istilah "masyarakat warga/kewargaan" ditawarkan oleh Lembaga Etika Atmajaya. Meskipun bersikap lebih netral, istilah ini pun tidak memuaskan. Lihat Rahardjo, Masyarakat Madani, hal. 133-134.
[21]  Lihat  Rahardjo, Masyarakat Madani, hal. 137.
[22]  Dalam bahasa arab, peradaban dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" dan "tamaddun", selain kata "hadlarah". Lihat Madjid, "Menuju Masyarakat Madani", hal. 51.
[23]  Rahardjo, Masyarakat Madani, hal 146.
[24]  Madjid, "Menuju Masyarakat Madani", hal. 52.
[25] Nurcholish Madjid, "Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi" dalam Aziz Musthofa (ed.) Kiprah Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 187.
[26]  Madjid, "Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi", hal. 189.
[27]  Penjabaran lengkap 47 ayat tersebut lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Negara, (Jakarta: UI Press, 2008), hal. 10-15. Untuk melihat bagaimana pasal-pasal tersebut diputuskan, baca Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran, (Depok: Kata kita, 2009), hal. 92.
[28]  Lihat  Rahardjo, Masyarakat Madani, hal. 153.
[29]  Madjid, "Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi", hal. 191.
[30]  Madjid, Menuju Masyarakat Madani, hal. 55.
[31]  Madjid, Islam, hal. LCI.
[32]  Husein Muhammad, "Pluralisme sebagai keniscayaan Teologis", pengantar dalam Ghazali, Argumen Pluralisme, hal. XVIII.
[33]  Madjid, Menuju Masyarakat Madani, hal. 53.
[34]  Madjid, Menuju Masyarakat Madani, hal. 54-55.
[35]  Madjid, Islam, hal. LXXX.
[36]  Mengenai pujian Dimont tersebut dapat dilihat di Madjid, Islam, hal. LXXX-LXXXI.
[37]  Lihat Madjid, Islam, hal. LXXXI.
[38] Lihat Madjid, "Menuju Masyarakat Madani", hal. 55; lihat juga Madjid, "masyarakat Madani", hal. 190-192.  
[39]  Asumsi tersebut dilontarkan Cak Nur melalui bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban. Dalam buku tersebut Cak Nur mengutip Robert. N. Bellah, seorang Sosiolog agama dari Amerika. Untuk lebih jelasnya lihat Madjid, Islam, hal. LXXXV.
[40]  Terlepas perdebatan mengenai penerimaan dan penolakan terhadap konsep pluralisme itu sendiri.
[41]  Madjid, Islam, hal. 403.

2 komentar: