Akhir-akhir
ini, sebagian –kalau tidak bisa disebut seluruhnya, generasi muda Indonesia
mengalami kehilangan ‘pegangan’. Yang
dimaksud pegangan disini adalah nilai. Akibatnya,
tidak mengherankan, muncul dekadensi moralitas yang luar biasa seperti dapat
kita lihat di sekeliling kita baik melalui mata telanjang maupun lewat media
masa, selain itu hilang pula rasa “ke-Indonesiaan”.
Indonesia
yang kaya dengan sumber daya baik materi, keanekaragaman maupun energi ternyata
tidak menjadikan bangsa ini bangga dengan apa yang telah dimilikinya, dan
cenderung serakah dengan apa yang dimiliki bangsa lain, seperti bangga
menggunakan budaya, bahasa maupun model bangsa lain.
Syair
dari sang pujangga bangsa, Ismail Marzuki, yang terdapat dalam lagu “Indonesia Pusaka”
pun menjadi bagian dengan “pengakuan” tersirat yang mengamini kondisi di atas. Indonesia Tanah Air Beta/Pusaka Abadi Nan Jaya/Indonesia
Sejak Dulu Kala/S’lalu Dipuja-Puja Bangsa…. Dalam bait syair keempat
tersebut, kita mendapati ungkapan selalu
dipuja-puja bangsa. Dan itulah yang terjadi di negeri berlambangkan
burung garuda ini. Kenapa tidak puja bangsa sendiri? (yang itu menunjukkan
mereka bangga sebagai bangsa Indonesia) namun
dipuja-puja oleh bangsa lain.
Inilah
yang menjadi PR bersama bangsa ini, kalau tidak dihargai bangsa sendiri lalu
apa jadinya negeri yang berbasis kepulauan ini. Para generasi mudanya lebih
bangga mengunakan bahasa asing daripada bahasa sendiri, sebagaimana diungkapkan
Jaya Suprana (Kompas, 2/6). Jaya
mengungkapkan “sementara banyak bangsa di dunia ini menderita xenophobia
–ketakutan terhadap segala sesuatu yang
bersifat asing – bangsa Indonesia malah menderita xenofilia –menggemari segala
sesuatu yang bersifat asing”.
Dikotomik
Sistem
pendidikan di Indonesia yang dikotomik, bukan hanya memisahkan antara ilmu
pengetahuan dengan agama tapi juga dengan kebudayaan bangsa sendiri, telah
memperdalam jarak antara kita dengan budaya kita sendiri. Budaya lokal yang sarat
dengan local wisdom direduksi, dan
kemudian diganti dengan “local wisdom” –kalau boleh disebut begitu˗ dari budaya lain yang positivistic (baca:
Barat). Mata pelajaran tentang geografi, sejarah, kesenian dan juga bahasa
sendiri semakin lama dipinggirkan dan dihilangkan satu persatu. Lalu,
pertanyaannya, bagaimana kita mempertahankan budaya sendiri? Dan ketika budaya
tersebut hendak “dihidupkan” dan “dipertahankan” oleh bangsa lain (baca:
Malaysia) rakyat ini ‘geram’ karena merasa budayanya diambil bangsa lain
–seperti kasus klaim Malaysia bahwa tari Tor-Tor (Batak) sebagai budayanya.
Lalu harus bagaimana? Apakah hal seperti ini harus dipertahankan dan
diberdayakan. Bukankah itu hanya akan semakin membuat bangsa ini semakin
terpuruk.
Dalam
Local wisdom, kita diajari tentang moralitas,
sopan santun terhadap sesama manusia dan alam. Bagaimana cara menghargai orang
tua, menjaga keseimbangan alam, menghormati dan menghargai orang lain semua
‘telah ada’ didalamnya. Namun, itu semua tertimbun dan semakin terkubur lebih
dalam sehingga menjadi cerita sejarah yang hanya akan kita dapati dari orang
tua kita ataupun nenek kakek kita.
Pendidikan berbasis local wisdom
Kembalinya
kementerian kebudayaan menjadi kementerian pendidikan dan kebudayaan seharusnya
diikuti dengan spirit baru untuk
menghidupkan kembali nilai-nilai kebudayaan atau local wisdom dalam sistem pendidikan kita. Jangan hanya menjadikan ‘pendidikan
karakter’ hanya sebagai idealisme sistem
pendidikan kita yang utopis. Bukankah jika ‘pendidikan karakter’ itu diterapkan
akan membawa dampak positif bagi negara dan bangsa ini (jika karakter yang
ditanamkan itu positif, dan sebaliknya). Pertanyaan selanjutnya, karakter mana
yang hendak dijadikan acuan? Apakah karakter local yang kaya dengan nilai-nilai
kebijaksanaan (wisdom) ataukah Barat yang
kuat dengan positivistiknya?
Sebenarnya,
Founding Father ataupun para leluhur
kita telah meninggalkan warisan yang luar biasa kayanya. Semua itu telah
terangkum sempurna dalam Pancasila. Benar, Pancasila dasar negara kita. Nilai-nilai
ke-Indonesiaan, nilai-nilai kebangsaan, semangat Tantularisme dan lain-lainnya.
Namun sayang, sekarang, Pancasila hanya dimaknai sebagai legenda. Ia pernah
ada, tapi dulu. Bukan untuk sekarang apalagi masa depan. Nilai-nilainya tidak
sesuai dengan masa sekarang. Itulah ungkapan mereka yang telah terjebak dengan
‘penjara’ xenofilia, dan lebih parahnya ia telah menjalar dan menjangkit
sebagian besar masyarakat Indonesia –bukan hanya kalangan pribumi tetapi juga
kalangan elit yang duduk di kursi
pemerintahan.
Kompleksitas
permasalahan di negeri ini seharusnya memperoleh perhatian serius dari
pemerintah. Bukan hanya perhatian dalam arti di amati kemudian dibiarkan,
tetapi diamati, dipelajari kemudian diperbaiki. Bila tidak seperti itu, saya
pesimis jika Indonesia lima belas atau dua puluh tahun dari sekarang masih
menjadi bangsa yang masih berdiri tegak diatas kakinya sendiri –bukan atas
dorongan dan sokongan bangsa lain. Dan itu semua hanya akan menjadi dongeng dan
legenda dalam masyarakat Indonesia sendiri bahwa “dulu negeri kita dan bangsa kita pernah besar”.
Hanya tinggal cerita
Jika kita mau belajar kepada mereka,
para pendiri bangsa, kita akan menemukan betapa mereka bangga dan bahagianya
menjadi ‘manusia Indonesia’. Mempertahankan negeri meskipun kematian
menghampiri. Harta, tenaga, pikiran mereka kerahkan semua untuk yang namanya
‘merdeka’. ‘Merdeka atau mati’kata Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Mereka mempertahankan bangsa dan negara untuk anak cucu
mereka. Mungkin jika mereka masih ada di sekitar kita, mereka
akan menangis sejadi-jadinya, malu bahwa ternyata apa yang mereka pertahankan
tidak lebih dari sia-sia belaka. Tumpahan darah, cucuran keringat, dan
kekosongan perut mereka tidak dihargai. Semuanya muspro. Hanya tinggal cerita.
*Pemerhati Pendidikan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar