2013-04-01

Pendidikan Berbasis Local Wisdom



Akhir-akhir ini, sebagian –kalau tidak bisa disebut seluruhnya, generasi muda Indonesia mengalami kehilangan ‘pegangan’. Yang dimaksud pegangan disini adalah nilai. Akibatnya, tidak mengherankan, muncul dekadensi moralitas yang luar biasa seperti dapat kita lihat di sekeliling kita baik melalui mata telanjang maupun lewat media masa, selain itu hilang pula rasa “ke-Indonesiaan”.
Indonesia yang kaya dengan sumber daya baik materi, keanekaragaman maupun energi ternyata tidak menjadikan bangsa ini bangga dengan apa yang telah dimilikinya, dan cenderung serakah dengan apa yang dimiliki bangsa lain, seperti bangga menggunakan budaya, bahasa maupun model bangsa lain.
Syair dari sang pujangga bangsa, Ismail Marzuki, yang terdapat dalam lagu “Indonesia Pusaka” pun menjadi bagian dengan “pengakuan” tersirat yang mengamini kondisi di atas. Indonesia Tanah Air Beta/Pusaka Abadi Nan Jaya/Indonesia Sejak Dulu Kala/S’lalu Dipuja-Puja Bangsa…. Dalam bait syair keempat tersebut,  kita mendapati ungkapan selalu  dipuja-puja bangsa. Dan itulah yang terjadi di negeri berlambangkan burung garuda ini. Kenapa tidak puja bangsa sendiri? (yang itu menunjukkan mereka bangga sebagai bangsa Indonesia)  namun dipuja-puja oleh bangsa lain.
Inilah yang menjadi PR bersama bangsa ini, kalau tidak dihargai bangsa sendiri lalu apa jadinya negeri yang berbasis kepulauan ini. Para generasi mudanya lebih bangga mengunakan bahasa asing daripada bahasa sendiri, sebagaimana diungkapkan Jaya Suprana (Kompas, 2/6). Jaya mengungkapkan “sementara banyak bangsa di dunia ini menderita xenophobia –ketakutan  terhadap segala sesuatu yang bersifat asing – bangsa Indonesia malah menderita xenofilia –menggemari segala sesuatu yang bersifat asing”.
Dikotomik
Sistem pendidikan di Indonesia yang dikotomik, bukan hanya memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan agama tapi juga dengan kebudayaan bangsa sendiri, telah memperdalam jarak antara kita dengan budaya kita sendiri. Budaya lokal yang sarat dengan local wisdom direduksi, dan kemudian diganti dengan “local wisdom” –kalau  boleh disebut begitu˗  dari budaya lain yang positivistic (baca: Barat). Mata pelajaran tentang geografi, sejarah, kesenian dan juga bahasa sendiri semakin lama dipinggirkan dan dihilangkan satu persatu. Lalu, pertanyaannya, bagaimana kita mempertahankan budaya sendiri? Dan ketika budaya tersebut hendak “dihidupkan” dan “dipertahankan” oleh bangsa lain (baca: Malaysia) rakyat ini ‘geram’ karena merasa budayanya diambil bangsa lain –seperti kasus klaim Malaysia bahwa tari Tor-Tor (Batak) sebagai budayanya. Lalu harus bagaimana? Apakah hal seperti ini harus dipertahankan dan diberdayakan. Bukankah itu hanya akan semakin membuat bangsa ini semakin terpuruk.
Dalam Local wisdom, kita diajari tentang moralitas, sopan santun terhadap sesama manusia dan alam. Bagaimana cara menghargai orang tua, menjaga keseimbangan alam, menghormati dan menghargai orang lain semua ‘telah ada’ didalamnya. Namun, itu semua tertimbun dan semakin terkubur lebih dalam sehingga menjadi cerita sejarah yang hanya akan kita dapati dari orang tua kita ataupun nenek kakek kita. 
Pendidikan berbasis local wisdom      
Kembalinya kementerian kebudayaan menjadi kementerian pendidikan dan kebudayaan seharusnya diikuti dengan spirit baru untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebudayaan atau local wisdom dalam sistem pendidikan kita. Jangan hanya menjadikan ‘pendidikan karakter’ hanya sebagai idealisme sistem pendidikan kita yang utopis. Bukankah jika ‘pendidikan karakter’ itu diterapkan akan membawa dampak positif bagi negara dan bangsa ini (jika karakter yang ditanamkan itu positif, dan sebaliknya). Pertanyaan selanjutnya, karakter mana yang hendak dijadikan acuan? Apakah karakter local yang kaya dengan nilai-nilai kebijaksanaan (wisdom) ataukah Barat yang kuat dengan positivistiknya?
Sebenarnya, Founding Father ataupun para leluhur kita telah meninggalkan warisan yang luar biasa kayanya. Semua itu telah terangkum sempurna dalam Pancasila. Benar, Pancasila dasar negara kita. Nilai-nilai ke-Indonesiaan, nilai-nilai kebangsaan, semangat Tantularisme dan lain-lainnya. Namun sayang, sekarang, Pancasila hanya dimaknai sebagai legenda. Ia pernah ada, tapi dulu. Bukan untuk sekarang apalagi masa depan. Nilai-nilainya tidak sesuai dengan masa sekarang. Itulah ungkapan mereka yang telah terjebak dengan ‘penjara’ xenofilia, dan lebih parahnya ia telah menjalar dan menjangkit sebagian besar masyarakat Indonesia –bukan hanya kalangan pribumi tetapi juga kalangan elit yang duduk di kursi pemerintahan.
Kompleksitas permasalahan di negeri ini seharusnya memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Bukan hanya perhatian dalam arti di amati kemudian dibiarkan, tetapi diamati, dipelajari kemudian diperbaiki. Bila tidak seperti itu, saya pesimis jika Indonesia lima belas atau dua puluh tahun dari sekarang masih menjadi bangsa yang masih berdiri tegak diatas kakinya sendiri –bukan atas dorongan dan sokongan bangsa lain. Dan itu semua hanya akan menjadi dongeng dan legenda dalam masyarakat Indonesia sendiri bahwa “dulu negeri kita dan bangsa kita pernah besar”.
Hanya tinggal cerita
            Jika kita mau belajar kepada mereka, para pendiri bangsa, kita akan menemukan betapa mereka bangga dan bahagianya menjadi ‘manusia Indonesia’. Mempertahankan negeri meskipun kematian menghampiri. Harta, tenaga, pikiran mereka kerahkan semua untuk yang namanya ‘merdeka’. ‘Merdeka atau mati’kata Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
            Mereka mempertahankan bangsa dan negara untuk anak cucu mereka. Mungkin jika mereka masih ada di sekitar kita, mereka akan menangis sejadi-jadinya, malu bahwa ternyata apa yang mereka pertahankan tidak lebih dari sia-sia belaka. Tumpahan darah, cucuran keringat, dan kekosongan perut mereka tidak dihargai. Semuanya muspro. Hanya tinggal cerita.

  *Pemerhati Pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar