Perjalanan seorang anak
manusia mengharuskannya selalu berpindah-pindah dari satu keadaan menuju
keadaan berikutnya. Perpindahan keadaan ini bukanlah perkara mudah, butuh
kesiapan baik mental, psikologis hingga bekal yang cukup (pengetahuan). Jika
tidak maka yang terjadi adalah bagaimana melalui sebuah proses tanpa makna.
Seberapa kesan yang tercerap oleh akal maupun rasa
manusia memberikan pemahaman atau pemaknaan tersendiri. Pemaknaan dan pemahaman
tersebut susah untuk diungkapkan tapi bisa untuk dirasakan. Yang seringkali
terjadi adalah pengungkapan makna tersebut melalui bahasa, yang sejatinya tidak
mampu mewakilinya. Hal inilah kadang menimbulkan reaksi pro dan kontra. Bagi mereka
yang sedang atau telah melewati fase tersebut, mereka akan setuju –meskipun
tidak semuanya, sementara bagi mereka yang belum sampai fase itu akan
mengatakan bahwa seseorang tersebut terlalu berlebihan dan “melewati batas”.
Butuh sebuah kebijaksanaan untuk menanggapi masalah
tersebut. Persoalan kebijakan bukanlah perkara yang mudah. Butuh kesiapan
mental dan fisik sekaligus pengetahuan yang cukup. Misalnya saja permasalahan
tentang Tuhan. Muncul berbagai penafsiran terhadapNya. Dari berbagai penafsiran
tersebut diperkirakan tidak ada yang benar kecuali petunjuknya sendiri –yang
menggambarkan diriNya sendiri bukan yang lain. Manusia hanyalah mendekatiNya
sebatas kemampuan akal yang dimilikinya, dengan bantuan dhomirnya. Tanpa adanya
kedua hal tersebut yang terjadi adalah menjadikan Tuhan sebatas pikiran manusia
tersebut. Padahal Tuhan muthlak, sementara manusia adalah terbatas. Tidak
mungkin yang nisbi mengetahui yang muthlak tanpa bantuan sang muthlak. Dengan
begitu klaim manusia bahwa dirinya bertemu dan berhubungan langsung dengan
Tuhan hanyalah sebuah mitos belaka. Karena bagaimanapun ketika sesuatu yang
muthlak menempati dimensi maka ia akan menjadi terbatas. Keterbatasan ini telah
mengingkari kesempurnaannya berarti Dia bukan Tuhan.
Tuhan “yang diproyeksikan” dan “yang sebenarnya”
Perdebatan tentang Tuhan merupakan perdebatan yang
sengit, sebagaimana dicatat oleh Karen Amstrong dalam bukunya “sejarah Tuhan”. Kisah
paling terkenal dalam pencarian Tuhan adalah kisah Ibrahim yang mencari Tuhan.
Bagaimana kegelisahan Ibrahim mencari Tuhan, telah menempatkannya menjadi
manusia pertama yang mencari Tuhan. Kegelisahannya membawanya pada realitas
muthlak yang sesungguhnya, yaitu Tuhan yang maha benar lagi muthlak. Tuhan yang
tidak terbatas lagi dibatasi.
Pembatasan terhadap Tuhan berarti berusaha untuk menjadi
yang kuasa di atas Tuhan. Pembatasan terhadap Tuhan juga menunjukkan betapa
terbatasnya akal manusia. Akal manusia hanya mampu merespon data yang telah
masuk, dan tanpa data “mustahil” manusia mampu mengetahui di luar dirinya.
Informasi tentang hari akhir, misalnya, tanpa ada pekabaran langsung dari Tuhan
(wahyu) mustahil akal manusia mampu menjangkaunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar