2013-04-11

Muthlak dan Nisbi


Perjalanan seorang anak manusia mengharuskannya selalu berpindah-pindah dari satu keadaan menuju keadaan berikutnya. Perpindahan keadaan ini bukanlah perkara mudah, butuh kesiapan baik mental, psikologis hingga bekal yang cukup (pengetahuan). Jika tidak maka yang terjadi adalah bagaimana melalui sebuah proses tanpa makna.
            Seberapa kesan yang tercerap oleh akal maupun rasa manusia memberikan pemahaman atau pemaknaan tersendiri. Pemaknaan dan pemahaman tersebut susah untuk diungkapkan tapi bisa untuk dirasakan. Yang seringkali terjadi adalah pengungkapan makna tersebut melalui bahasa, yang sejatinya tidak mampu mewakilinya. Hal inilah kadang menimbulkan reaksi pro dan kontra. Bagi mereka yang sedang atau telah melewati fase tersebut, mereka akan setuju –meskipun tidak semuanya, sementara bagi mereka yang belum sampai fase itu akan mengatakan bahwa seseorang tersebut terlalu berlebihan dan “melewati batas”.
            Butuh sebuah kebijaksanaan untuk menanggapi masalah tersebut. Persoalan kebijakan bukanlah perkara yang mudah. Butuh kesiapan mental dan fisik sekaligus pengetahuan yang cukup. Misalnya saja permasalahan tentang Tuhan. Muncul berbagai penafsiran terhadapNya. Dari berbagai penafsiran tersebut diperkirakan tidak ada yang benar kecuali petunjuknya sendiri –yang menggambarkan diriNya sendiri bukan yang lain. Manusia hanyalah mendekatiNya sebatas kemampuan akal yang dimilikinya, dengan bantuan dhomirnya. Tanpa adanya kedua hal tersebut yang terjadi adalah menjadikan Tuhan sebatas pikiran manusia tersebut. Padahal Tuhan muthlak, sementara manusia adalah terbatas. Tidak mungkin yang nisbi mengetahui yang muthlak tanpa bantuan sang muthlak. Dengan begitu klaim manusia bahwa dirinya bertemu dan berhubungan langsung dengan Tuhan hanyalah sebuah mitos belaka. Karena bagaimanapun ketika sesuatu yang muthlak menempati dimensi maka ia akan menjadi terbatas. Keterbatasan ini telah mengingkari kesempurnaannya berarti Dia bukan Tuhan.
            Tuhan “yang diproyeksikan” dan “yang sebenarnya”
            Perdebatan tentang Tuhan merupakan perdebatan yang sengit, sebagaimana dicatat oleh Karen Amstrong dalam bukunya “sejarah Tuhan”. Kisah paling terkenal dalam pencarian Tuhan adalah kisah Ibrahim yang mencari Tuhan. Bagaimana kegelisahan Ibrahim mencari Tuhan, telah menempatkannya menjadi manusia pertama yang mencari Tuhan. Kegelisahannya membawanya pada realitas muthlak yang sesungguhnya, yaitu Tuhan yang maha benar lagi muthlak. Tuhan yang tidak terbatas lagi dibatasi.
            Pembatasan terhadap Tuhan berarti berusaha untuk menjadi yang kuasa di atas Tuhan. Pembatasan terhadap Tuhan juga menunjukkan betapa terbatasnya akal manusia. Akal manusia hanya mampu merespon data yang telah masuk, dan tanpa data “mustahil” manusia mampu mengetahui di luar dirinya. Informasi tentang hari akhir, misalnya, tanpa ada pekabaran langsung dari Tuhan (wahyu) mustahil akal manusia mampu menjangkaunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar