2013-03-30

Friedrich Nietzsche


            Ketika berbicara tentang filsafat modern akan muncul nama Friedrich Nietzsche, Karl Marx dan juga Sigmund Freud. Nama Friedrich Nietzsche tak bisa dilewatkan begitu saja, karena ia banyak mempengaruhi pemikir-pemikir setelahnya, seperti Michel Foucault, Martin Heidegger, Jecques Derrida, Muhammad Iqbal dan lain-lain. Lalu, seperti apakah pemikiran seorang Nietzsche yang mampu mempengaruhi tokoh-tokoh penting dalam sejarah pemikiran tersebut?
            Nietzsche merupakan seorang pemikir yang multitalenta, dalam buku-bukunya ia tidak hanya berbicara dalam satu paradigma berpikir sehingga tidak jarang orang-orang kesulitan menempatkan Nietzsche dalam tradisi keilmuan, apakah ia seorang filosof, sastrawan, psikolog atau yang lainnya. Hampir dari seluruh karya-karyanya berbentuk aforisme, sehingga untuk dapat memahami seorang Nietzsche kita harus membacanya secara komprehensif, meskipun begitu masih banyak dan tidak jarang orang masih memahami secara ‘salah’ tentang Nietzsche.
            Menurut Farish Noor, banyak orang salah memahami siapa itu Nietzsche, bahkan tokoh terkenal filsafat Barat seperti Bertrand Russell pun dianggap masih belum bisa memahami Nietzsche. Nietzsche merupakan seorang yang unik, orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan orang semasa dengannya, sehingga ketika ia mengeluarkan ide-ide cemerlangnya, ia dianggap ‘gila’ oleh orang-orang disekitarnya. Ide-ide Nietzsche akhirnya baru dipahami oleh orang-orang sekitar 70 tahun pasca meninggalnya Nietzsche.
            Dalam seminar tentang Nietzsche, Farish membuat skema sederhana untuk memahami pemikiran Nietzsche, yaitu sebagai berikut:
  1. 1.      “UNTRUTH” is a condition a life
  2. 2.      Philosophy (and Science) as Art
  3. 3.      Perspectivisme is “will to power”
  4. 4.      Philosopher-artist
Tetapi sebelum masuk ke dalam inti dari pemikiran seorang Nietzsche, Farish menjelaskan terlebih dahulu bagaimana Nietzsche membentuk tatanan baru –orang sering menyebutnya Nihilisme– karena  menurut Nietzsche tatanan dunia ini telah dihancurkan oleh pemikiran Socrates yang kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya –Plato dan Aristoteles dan seterusnya.
Menurut Nietzsche, Socrates telah menghancurkan tatanan yang telah ada dalam masyarakat Yunani Kuno. Masyarakat Pra-Socrates telah menghargai nilai seni yang tinggi, tetapi di zaman Socrates orang-orang mulai mempertanyakan apa itu Beauty, apa itu seni dan lain sebagainya. Socrates –oleh  Nietzsche– dianggap  telah merusak tatanan (secara subversif) dengan dialektika. Di masa sebelumnya, yaitu masa kerajaan Athena dan Sparta, mereka telah memiliki tatanan masyarakat sendiri yang satu dengan yang lain berbeda. Masyarakat Athena adalah masyarakat yang sangat menghargai seni, sedangkan masyarakat Sparta bisa dikatakan tidak mengenal seni, karena mereka sudah mengenal perilaku yang sistematis. Namun, oleh Socrates masyarakat dikenalkan dengan apa yang disebut dengan ‘dialektika’ sehingga mereka mulai mempertanyakan apa ‘ide’ dibalik setiap peristiwa.
Socrates, menurut Nietzsche, adalah orang Yunani pertama yang memberontak terhadap tatanan yang sudah mapan, ia selalu mempertanyakan ‘ide’ dibalik segala sesuatu. Pada mulanya, masyarakat Yunani percaya bahwa “pelangi adalah jembatan antara alam manusia dengan alam para dewa”, namun oleh Socrates hal tersebut dipertanyakan ulang, ia mencari apa yang ada dibalik segala sesuatu yang –pada dasarnya– oleh  masyarakat itu dianggap sebagai “kebenaran”.
Pada zaman pra-Socrates, masyarakat percaya bahwa kebenaran itu terletak di objek (the Truth is Objek) tapi pada zaman Socrates, karena pengaruh dilektikanya, masyarakat mulai mempercayai bahwa kebenaran bukanlah terletak di objek melainkan di subjek itu sendiri (the Truth is Subjek) yang artinya kebenaran itu bersifat Universal dan era inilah yang menandai munculnya Idealisme Objektif.
Di zaman Aristoteles, ia tidak lagi berbicara soal ide, tetapi esensi segala sesuatu. Ketika berkata “air itu basah”, basah tidak dimaknai sebagai ide melainkan esensi dari air tersebut. Di masa inilah muncul skeptisisme terhadap dunia, yang kemudian memunculkan konsep tentang metafisika. Konsep tentang sesuatu yang metafisis (lebih tinggi dari fisik) tersebut adalah bentuk reaksi terhadap segala sesuatu yang tidak mampu dijelaskan secara fisik, yang kemudian melahirkan theology (berhubungan erat dengan Theologi Kristen) dan juga falsafah (Western philosophy).
Di era modern, kedua hal diatas digunakan untuk menguasai, untuk membalas dendam, menghegemoni bangsa selain bangsa Barat (Farish menyebutnya sebagai Spirit Of Revenge). Orang-orang Barat menggunakan filosofi dan science untuk menghegemoni bangsa di luar mereka, dan disinilah terlihat tingkat arogansi yang untuk membalas dendam.
Menurut Socrates, Truth adalah sama, sehingga semuanya dianggap ‘benar’. Namun berbeda dengan Socrates, Nietzsche berpendapat bahwa tidak ada Truth di dunia ini yang ada hanyalah fenomena karena Truth itu tak jangkau oleh manusia,  yang ada hanya ide yang tak berubah yaitu bahasa –yang menyebabkan pembekuan dan menyebabkan Stagnasi.
Dari penjelasan diatas,  terlihat bagaimana Nietzsche mendekontruksi pemikiran yang telah ‘dibangun’ oleh Socrates dan para penerusnya, dan ia kemudian merekontruksi pemikiran tersebut –mengembalikannya pada zaman pra-Socrates yang dianggap sebagai zaman ideal, yaitu dengan empat poin utama seperti yang tertulis di atas.
Pertama, “UNTRUTH” is a condition of life bisa diartikan sebagai ‘ketidakbenaran adalah kondisi hidup’. Nietzsche menganggap bahwa ‘Kebenaran Mutlak’ adalah tidak ada, yang ada hanya subjektivifas dari manusia itu sendiri. Manusia harus rela menipu dirinya sendiri untuk sebuah ‘kebenaran’, karena ‘kebenaran’ itu tidak ada maka ‘Untruth’ juga menjadi bagian dari kehidupan setiap manusia.
Kedua, Akibatnya dari pandangan di atas maka timbullah Philosophy (and Science) as Art. Filsafat dan sains itu bersifat egois. Karena mereka (filsafat dan sains) hanya berbicara tentang diri mereka sendiri sehingga timbullah apa yang namanya ‘kebenaran subjektif’ yaitu kebenaran yang diukur dengan pengalaman pribadi yang pada hakikatnya merupakan bentuk penipuan terhadap diri sendiri. Orang mencari ‘pembenaran’ dengan apa yang telah ia alami, padahal hal tersebut belum tentu dialami oleh yang lain. Inilah yang disebut Nietzsche dengan The Gay Science yaitu pengetahuan manusia itu bersifat subjektif.
Ketiga, Perspectivisme is “will to power”. Manusia melihat dunia dengan perspektif subjektifnya. Perspektif inilah yang kemudian digunakan untuk will to power. Will to power pada tahap selanjutnya akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi dan unik (sebagimana orang-orang Yunani Kuno menggunakan dorongan-dorongan will to power untuk menciptakan kebudayaan mereka). Pengalaman seseorang merupakan ‘will’-nya. Manusia adalah species yang komplek, ia mengalami (atau memperoleh pengalaman) dari dunia, dengan adanya perspektif itu manusia menganggap bahwa dunia ini adalah dunianya (will), padahal di dunia ini tidak hanya ada manusia, ada binatang, tumbuhan dan lain sebagainya. Klaim tentang the truth merupakan alat kontrol ‘will’ aktif.  
Keempat, tahap terakhir yaitu apa yang disebutnya dengan philosopher-artist (atau dalam bahasa Jerman dikenal dengan Übermensch atau superman). Philosopher-artist bisa diartikan sebagai manusia yang baru, manusia yang berbeda dari yang lain (unik) dan manusia yang berkuasa. Ia diibaratkan sebagai seseorang yang berada di puncak gunung tertinggi, hanya ada dia seorang di tempat tersebut dan yang lainnya tidak terlihat. Inilah superman dalam arti sebenarnya. Bukan seperti yang ada dalam film-film, yaitu seseorang yang memiliki kekuatan super yang bisa terbang, bertubuh baja dan lain sebagainya. Übermensch merupakan sosok yang diidealkan oleh Nietzsche, ia merupakan sosok atau pribadi tertentu yang suatu saat akan datang Übermenschmerupakan  pribadi manusia yang benar-benar ada dan hidup. Dia merupakan sosok yang tidak seorang dapat mengetahuinya, ia bukanlah seperti Napoleon, Julius Caesar dan tokoh-tokoh terkenal lainnya –Nietzsche menyebut mereka dengan der grosse mensch (orang besar) bukan  Übermensch.
Nietzsche juga menolak dengan adanya pengetahuan (no knowledge), menurutnya pengetahuan itu tidak ada yang ada hanya interpretasi (only interpretation). Ada dua jenis model dalam melakukan interpretasi, yaitu manusia menginterpretasikan sesuatu secara berani (brave) atau ia menginterpretasiakan secara takut (loward). Kaum intelektual oleh Nietzsche dimasukkan dalam interpreter yang penakut. Karena mereka hidup hanya untuk mengawetkan/melindungi (life-preserving). Mereka terjebak dalam moralitas etis, dan science. Inilah sosok manusia modern. Mereka melakukan klasifikasi dan akhirnya sampai pada konsep tentang benar-salah. Sesuatu perbuatan kalau tidak benar, berate itu adalah salah.
Nietzsche menggambarkan manusia modern hampir sama dengan Marx Weber menggambarkan manusia. Manusia modern, oleh Nietzsche, diibaratkannya sebagai seekor lebah yang membangun sarangnya, ia membangun sarang berdasarkan konsepsi yang ia ciptakan dan usaha kerasnya. Namun setelah sarang tersebut jadi, ia lupa dan terjebak dengan konsepsi yang dibentuknya sehingga ia lupa dengan ‘the art’. Sedangkan menurut Weber, manusia diibaratkan seperti laba-laba yang membangun sarangnya, namun setelah membangun sarang (sistem) tersebut ia terpintal dan tidak bisa keluar untuk selamanya. Itulah gambar manusia modern menurut Nietzsche, yaitu manusia yang terjebak dengan apa yang telah mereka bentuk sendiri (sistem) sehingga mereka tidak mampu menjadi diri mereka yang sebenarnya –atau tidak mampu mengaktualisasikan diri.
Sedangkan mereka yang berinterpreter dengan cara berani akan memperteguh/memperkuat hidupnya (life-affirming) dengan keberanian dalam ‘art’. Mereka inilah The Gay Science. Mereka adalah manusia yang lepas dari sistem opresif, mampu membuka ruang persepsi untuk membebaskan manusia dengan ‘will’-nya atau disebut Nietzsche sebagai Overman (transformator of Value). Mereka adalah seorang individu yang unik, subjective dan intens. Mereka inilah yang mampu mengafirmasi hidup dan dunia.

Koleksi buku Nietzsche dapat di beli di nasution books

2013-03-27

Dilema Usia Senja



Dulu dirimu berjaya
Kuat, tangguh dan kuasa
Namun kini, tinggal nama
Kuasa yang kau punya jadi dilema
Hujatan ada dimana-mana
Bahkan dari dalam dirimu pemberontakan tak terkira
Menginjak dekade ke tujuh
Dirimu mulai terabaikan
Terlantar dari lini-lini kehidupan
Hendak dibubarkan banyak yang pertahankan
Hendak dipertahankan banyak hujatan
Dan Involusi pun  ambil bagian
Butuh ikhtiar tuk meraih takdirmu (kejayaan)
Tenaga, usaha dan waktu dibutuhkan tuk menorehkan sejarahmu
Sejarah yang hanya mampu dibuat oleh para pemberani
Namun usia senjamu kini berakhir tanpa arti
                                                                                By SeA
                                                                                Asrama haji pondok gedhe, 23 maret 2013

Materi Jadi Standarisasi, Kualitas Tak Lagi Berarti

Mungkin itulah kalimat yang sederhana untuk mengungkapkan jalannya konggres HMI ke-XXVIII di jakarta yang hingga kini tak jelas arahnya. Konggres yang dibuka di Hotel Borobudur jumat lalu (15/3) dilanjutkan di Asrama Haji Pondok Gedhe Jakarta. Dalam acara tersebut dihadiri  seluruh cabang HMI dari bumi nusantara. Mulai dari Aceh hingga Papua. Rombongan-demi rombongan silih berganti, dari yang resmi hingga romli (singkatan untuk rombongan liar) menghuni tempat yang telah disediakan oleh panitia. Bahkan diperkirakan lebih dari 10.000 orang yang menghadiri jalannya konggres tersebut.
Jalannya konggres pun tak kalah jauh dari pemilihan dewan maupun gubernur yang pernah ada. Kericuhan hingga pembakaran barang-barang tak terelakkan. Kursi peserta konggres dilahap kobaran api hingga tinggal kerangka besi. Kaca pun pecah berserakan. Teriakan-teriakan manusia, jeritan-jeritan melengking mewarnai jalannya acara. Sudah seminggu acara berlalu, namun belum ada titik temu.
Entah berapa hari lagi acara semacam ini harus dilaksanakan. Menghabiskan tenaga, dana dan kekuatan. Bukan hanya argumen yang dipertentangkan, fisik pun diadu dengan segenap kekuatan. Proses seperti inikah yang akan menciptakan anak-anak zaman? Saya rasa tidak, bukannya solusi yang didapatkan tetapi aib yang semakin meradang. Menyerang sendi-sendi organisasi yang sudah minim independensi. Militansi digugat, dicaci dan dimaki. Tinggal menunggu takdir dari yang ilahi –kala ikhtiar hanya menjadi alibi.
Mungkin benar apa yang pernah diungkapkan, organisasi ini tidak butuh banyak pecundang. Hanya butuh ratusan pejuang berani tuk mengubah jalannya arah negeri. Sebagaimana yang dicita-citakan pendiri HMI. Membalik takdir dengan ikhtiar, dan meraih kesuksesan dengan totalitas keilmuan. Namun, bukannya ilmu yang jadi perjuangan, tetapi syahwat-syahwat bejatlah yang jadi panutan. Itulah akhir dari sebuah perjuangan, kala tujuan diluluhlantahkan oleh kepentingan-kepentingan. Materi jadi standarisasi,  kualitas tak lagi berarti.
                                                                                                                 Pondok Gedhe, 23 Maret 2013.
                                                                                                                                By SeA
                                                                                                                 

2013-03-26

Pusar Jiwa

Kala malam menjelang, sang surya pun kembali ke peraduan. Menandakan gelap datang dan terang menghilang. Terikan ular besi pun memecah keheningan. tutt...tutt..tutt
Kali ini sang ular bergerak pelan tapi pasti menuju Ibu kota pertiwi. Menghantarkan jiwa-jiwa sunyi menuju belahan hati. Entah waktu memisahkan dua insan yang saling jatuh hati, sehingga kerinduan pun minta jatah diobati.
Berkilo-kilo jarak ditempuh oleh rongsokan besi tua ini. Menghantarkan putra dan putri menuju belahan hati. Memecah sunyinya malam yang gelap akan bintang dan rembulan. Detik demi detik berganti, menit pun tak mau ketinggalan, dan akhirnya jam pun beranjak dari angka rendah menuju yang lebih tingi.
Namun, apalah arti semua ini? Kala kesunyian hati menyergap, mengurung dan memenjarakan kerinduan akan kekasih hati.
Malam semakin sunyi dan senyap ketika rengekan besi tua yang pasungan dalam apitan memecah keheningan. Para penumpang pun tak mau peduli, yang penting mereka sampai ibu pertiwi, bertemu dengan kekasih hati, memadu rindu yang minta jatah diobati.
waktu menujukkan pukul empat pagi kala sang ular sampai ibu kota pertiwi. Sang ularpun kembali ke sarang, minta jatah makan dan minuman. para penumpuang berhamburan mencari tempat yang diinginkan. Mencari puzzle jiwa yang lama tak bertemu, mengais kasih yang jarang orang tahu.
Terik surya semakin membakar kulit ini. itupun tak menghalangi bertemunya dua hati. Dua hati yang memadu kasih dan rindu, menuju pusar jiwa, dimana hanya cinta yang bersemayam disana.
Pusar jiwa merupakan tempat bertemunya pencinta dan yang dicintai. Tak ada lagi kata benci, yang ada hanya saling mengisi, saling memberi dan saling berbagi. Itulah tautan hati yang jarang dipahami oleh mereka yang mengagungkan materi. Cinta tak lagi bicara soal harta, soal tampan ataupun jelita, tetapi soal rasa. Itulah misteri trdalam manusia, yang tak mampu diukur dengan jangka, ataupun skala. Namun, ia bisa dideteksi oleh tajamnya rasa. Anugrah Tuhan yang jarang sekali disyukuri.
                                                                                                                 *Besi Tua, 20 Maret 2013

2013-03-04

Fanatik dan Konflik

Fanatik. Kata itulah yang muncul (meski tidak seluruhnya) ketika berbicara identitas, organisasi, agama dan
budaya. Kita “dituntut” untuk fanatik terhadap apa yang kita miliki, tentu saja tetap dalam koridor tertentu. Seringkali fanatisme menimbulkan ketidakadilan sehingga terjadi ketidakseimbangan, kesetaraan, yang pada akhirnya berujung merugikan. Dan inilah salah satu akar dari konflik.
            Konflik berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) menjadi tak terelakkan ketika hal di atas terjadi. Misalnya, konflik Maluku yang berujung pada konflik antar agama (Islam dan Kristen), kebakaran yang terjadi di Lampung di awal 2012, merupakan konflik antar etnis lampung sebagai penduduk asli dan Jawa dan Bali sebagai etnis pendatang, dll. Itu menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama kita sebagai bangsa dengan pluralitas tertinggi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
            Pernah aku berpikir, apakah kita harus melepaskan semua identitas yang melekat pada kita untuk meminimalisir konflik? Ternyata tidak. Karena bagaimanapun keanekaragaman akan tetap ada. Tinggal bagaimana mensikapi keanekaragaman tersebut. Keanekaragaman harus disikapi dengan positif. Ia merupakan rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Bukankah Tuhan menciptakan kita berbeda-beda untuk saling mengenal satu sama lain (Q. S. al-Hujurat: 10)? Karena pada dasarnya kita diciptakan satu sama lain oleh-Nya untuk saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan diciptakan sepasang untuk saling melengkapi. Islam tanpa adanya lain –Kristen, Buddha, Hindu, Yahudi, dll– akan “pincang” dan begitu juga sebaliknya.
                                                                                                 * Gubuk Insan Cita, 3 Juli 2012

2013-03-03

Manusia dan Materealisme

Tugas manusia bukanlah tugas yang mudah, karena seringkali banyak kendala untuk "menjadi manusia" (be a man). Salah satu kendala untuk menjadi manusia adalah adanya keterikatan manusia dengan dunia (baca: materi), yang menyebabkan manusia lupa akan tugasnya dan menjadi sosok lain yang disebut "syeitan". Dalam konsep Hinduisme keterikatan tersebut biasa disebut dengan karma. Karma merupakan sebuah kondisi dimana manusia tidak mampu mencapai moksa (kesatuan antara Atman dan Brahman), dan terjebak dalam tumibal lahir (reinkarnasi), yang menjadikan manusia tidak sempurna karena ia tidak mampu mencapai Brahman. 
Dalam Islam, keterikatan terhadap dunia menjadikan manusia tamak (hubbud dunya), sehingga ia cenderung individualis, pelit dan a-sosial. Hubbud dunya pun dilarang, karena ia menjadikan manusia lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil ard (wakil Tuhan di bumi) dan juga abdullah -yang dalam bahasa ibraninya Israel yang artinya Hamba Allah.
Hubbud dunya juga membahayakan keimanan, dimana ia menjadikan materi sebagai tujuan akhir. Materi yang seharusnya menjadi sarana/alat untuk mencapai Tuhan, dijadikan sebagai tujuan akhir. Akibatnya, Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari manusia itu diabaikan dan diganti dengan kenikmatan yang duniawi. Sehingga orientasinya, kenikmatan dunia adalah segalanya.Kerja manusia diorientasikan kepada materi dan segala sesuatu diukur dengan materi. dan itulah materealisme -sebuah paham baru yang lahir dari rahim pencerahan (enlighment). wallahu 'alam bisshowab