Teologi Pembebasan muncul pada abad 20 seiring banyaknya
permasalahan dunia yang menjadikan manusia
terbelenggu, terpenjara, teralienasi dan pada akhirnya mereka menjadi tidak merdeka. Manusia dengan kemerdekaannya, seharusnya ,menggunakan itu unt memakmurkan
bumi buan kemudian menjadikan kekuasaan dan jabatan yang dimiliki untuk
menekan, menindas bahkan menghapuskan kemerdekaan dari manusia lain dengan
alasan kepentingan pribadi mereka. Teologi
pembebasan muncul pertama
kali di Eropa dengan berkonsentrasi pada persoalan globalisasi
dan juga pada keprihatin pada dosa sosial yang
terdapat pada sistem pemerintahan sebuah negara.
Teologi Pembebasan kala itu, menawarkan sistem sosial yang mengedepankan keadilan kepada warga negara dan warga dunia dalam pandangan agama
(manusia yang adil, tidak tertindas) yang dirusak oleh manusia sendiri. Sementara itu,
teologi pembebasan yang lahir di Amerika Latin berfokus pada gerakan perlawanan
yang kebanyakan dipimpin oleh para agamawan terhadap kekuasaan yang hegemoni dan
otoriter.
Pemikiran Teologi Pembebasan merupakan hasil
refleksi bersama suatu komunitas (Kristen) terhadap suatu persoalan sosial yang sedang dihadapi dalam suatu relatas masyrakat tertentu.
Sehingga, ia bukan hanya lagi milik kau agamawan semata, masyarakat pun terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan itu. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan
agama dalam konteks pemiskinan struktural. Teologi
pembebasan merupakan hasil dari penafsiran ulang peran Yesus
sebagai inkarnasi Tuhan di dunia modern dengan tetap berpacu pada Alkitab.
Hal
ini dilakukan guna mengkontekstualisasikan Kristen sebagai agama yag bukan
hanya terbatas wilayah gereja semata tetapi juga mampu merasakan apa yang sedang dihadapi dan
dirasakan oleh masyarakat. Akibatnya, ia harus mampu untuk menjawab persoalan
yang dihadai rakyat dengan menafsirkan kembali peran Yesus yang menyelamatkan
umat manusia.
Setelah
menafsirkan pesan-pesan dalam Alkitab berdasarkan tindakan Yesus yang membela
dan menolong orang-orang lemah, sakit, dan tertindas, maka peran agama juga
seharusnya demikian. Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung
jawab gereja sebagai lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada
jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yan lebih diutamakan
dan ditekankan biasanya pada niai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai
tersebut di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan yang
pada akhirnya melahirkan Teologi
Pembebasan. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang
menafsirkan bahwa Kristus adalah
Tuhan yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa
pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti
teladan Yesus dan
menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan
perjuangan Tuhan yang disembahnya. [1]
Persoalan
yang berbeda dengan kondisi yang berbeda akan menimbulkan reaksi iman yang
berbeda. Seperti Kekristenan di banyak
Negara Asia berhadapan dengan konteks kemiskinan dan hidup di
tengah-tengah mayoritas penganut
agama-agama lain, maka respon yang terjadi di Asia itu pasti berbeda dengan apa
yang terjadi di Eropa. Jumlah penduduk yang beragama Kristen pun akan mempengaruhi
arah gerakan yang mereka lakukan. Seperti di Filipina dan Korea Selatan yang
berpenduduk Kristen mayoritas, pasti akan berbeda dengan negera-negara lain
seperti Cina, Korea Utara, Vietnam, dan Kampuchea yang penduduknya Kristennya
minoritas. Teologi di Asia inilah yang akan disoroti dalam tulisan ini.
Benua
Asia mempunyai wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduknya sangat padat.
Kemajemukan yang menjadi ciri Asia juga telah melahirkan pendekatan teologis
yang beranekaragam. Dalam hubungannya dengan gereja-gereja sedunia, pengakuan
terhadap Allah sebagai Khalik dan inkarnasi Firman Allah dalam Yesus Kristus
merupakan dasar bagi banyak pergumulan teologis selama berabad-abad. Makna
pokok-pokok pengakuan tersebut digumuli demi damai sejahtera manusia di Asia.
Ada dua segi teologi di Asia yang majemuk, yaitu pertemuan dengan agama-agama
lain dan perhatian bagi pergumulan orang miskin.[2]
Sebenarnya, Latar belakang Teologi Pembebasan (lebih dikenal dengan teologi kemiskinan) Asia tidak jauh berbeda dengan teologi
pembebasan di wilayah lain (Amerika Latin atau Afrika). Meski Asia adalah
tempat lahirnya agama-agama, akan tetapi yang tampak adalah bahwa agama di Asia
tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan masyarakat dari fenomena
ketertindasan, kemelaratan, kemiskinan, dan pertikaian antar-kelompok yang
tiada henti. Malah agama ditunggangi oleh kelompok elit masyarakat tertentu
untuk dijadikan basis legitimasi demi kemakmuran mereka sendiri.
Keprihatinan seperti itulah yang melahirkan
gerakan-gerakan pembebasan berbasis agama di beberapa kawasan Asia, seperti
teologi Minjung di Korea, teologi Perjuangan di Filipina, dan teologi Dalit di
India. Demikian juga ketika kelompok-kelompok agama Konghucu di Cina, Hindu di
India, Budha di Sri Langka, serta Islam di Pakistan, Iran, atau Indonesia,
mencoba berjuang menuntaskan problem-problem ketertindasan dan kemiskinan.
Dalam
pembahasan ini, akan dikerucutkan kepada beberapa okoh, meskiun ha ini tidak
bias dijadikan patokan maupun ukuran, namun hal ini bias memberikan gambaran
sedikit tentang telogi kemiskinan di asia. Tokoh terebut adalah Aloysius Pieris
dari Sri Langka dan JB Banawiratma dari Indonesia.
1.
Aloysius Pieris
Ia
lahir di Ampitiya, Sri Lanka, pada tahun 1934. Ia masuk Serikat Yesus pada umur
19 tahun dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan
lisensiat filsafatnya di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India, pada tahun
1959. Karena dibesarkan dalam suatu daerah mayoritas masyarakatnya memeluk
agama Buddha, Pieris segera menyadari bahwa, untuk dapat bekerja secara efektif
sebagai imam di tanah airnya sendiri, ia harus belajar agama
Buddha (Rubianto 1996, 20-21) sehingga ia mempunyai hubungan
dialog dan pengalaman yang erat dengan kaum Buddhis. Ia berhubungan dengan
agama lain dalam rangka menceburkan diri dalam perjuangannya untuk pembebasan
orang-orang miskin (Amaladoss 2001, 191). Fokus teologinya ialah mengembangkan Teologi Pembebasan bergaya Asia
yang memperhitungkan kemiskinan Asia.
Agama
Buddha melihat penyebab kemiskinan adalah hasrat keinginan untuk mempunyai
barang-barang jasmani dan hasrat keinginan ini mendorong orang untuk memeras
dan memelaratkan orang lain. Maka dari itu, hasrat keinginan itu dilawan dengan
pilihan untuk hidup miskin, dengan meninggalkan baik keinginan untuk memiliki
maupun kenyataan memiliki barang-barang jasmani. Menurut Pieris, memilih hidup
miskin demi kepentingan kaum miskin ialah suatu perjuangan yang mendatangkan pembebasan
setiap orang dari kemiskinan yang dikarenakan struktur-struktur ekonomi dan
politik yang tak adil. Pieris melihat dalam suri teladan Yesus, ada pilihan
seperti itu. Dalam perjuangan yang terus menerus di dunia antara Allah dan
Mamon, Yesus memilih menjadi miskin sejak waktu kelahiran-Nya
juga (Amaladoss 2001, 192). Dalam diri Yesus, ada Allah yang bersama
dengan kaum miskin demi pembebasan mereka (Amaladoss 2001, 194). Dengan
Buddhologi, Kristologi tidak dalam upaya untuk menjadi saingan, melainkan
melengkapinya. Orang-orang Kristen menyatukan diri dengan para penganut
Buddhisme untuk menarik diri dari dunia karena gnosis
(menjalani hidup miskin dengan sukarela), dan para penganut
Buddhisme bersatu padu dengan orang-orang Kristen untuk terjun ke dalam dunia
karena cinta kasih untuk melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang
dipaksakan (R. Sugirtharajah
1996, 102).
Dalam teologi pembebasannya,
Pieris menganjurkan orang Kristen agar memberi diri mereka untuk melayani orang
miskin. Dia menggabungkan konsep anatta atau penolakan diri
yang terdapat dalam agama Buddha dengan dengan konsep pengabdian Kristen. Ia
menegaskan bahwa dasar tugas dan panggilan umat Kristen di Sri Lanka adalah
menjadi satu dengan orang miskin. (Ruck 1997, 272).
Aloysius Pieris mengkritik Teologi Pembebasan dari Amerika Latin dan Afrika kurang cocok untuk masyarakat Asia. Kemiskinan yang dilihat dari kacamata Marxisme belumlah efektif ketika
tidak melihat akar permasalahan secara lebih dalam di Asia sendiri. Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dari konteks Asia adalah
pendekatan multikulural. Asia oleh Pieris disebut sebagai 'dunia
ketiga' yang memiliki akar 'religio-kultural' yang tidak terpisahkan. 'Reoligio-Kultural' ini setidaknya diuraikan oleh Pieris dalam tiga hal;
1. heterogenitas linguistik, 2. integrasi unsur-unsur kosmik dan metakosmik dalam agama-agama di Asia, dan 3. kehadiran luar
biasa dari ajaran-ajaran keselamatan (soteriologis')
bukan Kristen.
Menurut Pieris, Teologi Asia adalah cara orang
harus merasa, menyadari dan melakukan sesuatu sebagaimana terwujud dalam
pergumulan dan perjuangan rakyat Asia demi mencapai emansipasi spiritual dan
sosial, serta dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan dan bahasa kebudayaan Asia.
Dengan demikian, memahami teologi Asia harus terus merefleksikan pertautan
antara kemiskinan dan kereligiusan dalam pergumulan hidup bangsa Asia. Sekalipun Asia memiliki matriks teologi yang khas, Asia ada dalam dilema
antara teologi Eropa dan teologi Pembebasan Amerika Latin. Dilema ini hanya
dapat diterobos bilamana ada rasa Asia dalam teologi di mana kemiskinan dan
religiusitas merupakan Sensus Theologicum. Oleh karena itu, teologi yang
relevan untuk benua Asia adalah teologi melalui partisipasi. Dalam partisipasi
inilah, maka proses penginjilan bangsa Asia dan teologi akan membantu Gereja
Asia menjadi “Gereja lokal dari Asia” yang sangat berbeda dengan “Gereja lokal
di Asia.[3]
Seperti yang telah dikemukan di atas bahwa
refleksi kristologi dalam konteks Asia Pieris bertitik tolak dari munculnya dua
realitas Asia yang mencolok dan mencekam, yaitu adanya kemiskinan dan
pluralitas agama yang keduanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan. Oleh
karena itu, sebagai jalan keluar atau jalan menuju kristologi yang cocok bagi
Asia dewasa ini, Pieris menganjurkan:
a. Kembali kepada kehadiran Yesus
Menurut Pieris bahwa teolog Asia banyak yang
menolak “keunikan Kristus”, oleh karena Kristus lebih dilihat sebagai gelar,
sebuah gagasan dengannya sebuah kebudayaan tertentu mencoba menyatakan misteri
yang terdapat dalam pribadi, karya dan ajaran Yesus. Gelar itu tidak absolut,
yang absolut justru misteri penyelamatan yang diwartakan semua agama besar
sesudah berabad-abad lamanya. Jadi dalam hal ini jelaslah bahwa bukan gelarlah
yang menyelamatkan, melainkan Sang Pengantara itu sendiri yang
menyelamatkan.
Menurut Pieris, Misteri “Tritunggal” juga
merupakan kenyataan soteriologis fundamental yang terdapat di dalam banyak
kebudayaan religius Asia. Pembicaraan mengenai “Putera Allah” justru akan
memiliki arti bila dihubungkan dengan konteks penyelamatan yang dapat disapa di
dalam hati orang Asia, bagi Pieris, kita akan bisa menemukan tempat
yang peka dan terbuka itu, apabila kita mau mengulangi langkah-langkah yang
pernah dilakukan oleh Yesus sendiri untuk memperkenalkan pribadi-Nya dalam
konteks religiusitas dan kemiskinan Asia. Dengan
demikian tampaklah bahwa hubungan refleksi Kristologis Pieris dengan soteriologis
Asia tidak boleh saling dipisahkan.
b. Merumuskan Suatu Formula Baru yang sesuai bagi
Asia
Menurut Pieris, formula kristologi baru yang
perlu dipertemukan di Asia, tidak lain ialah Gereja yang secara otentik
bersifat Asia. Ia merasa yakin, selama Gereja tidak masuk ke dalam air baptis
religiusitas Asia dan melibatkan diri dari dalam derita dan salib kemiskinan
Asia, maka tidak mungkin Gereja Asia itu menciptakan sebuah kristologi bagi
Asia. Pieris juga melihat revolusi gerejani macam
ini sudah mulai di dalam beberapa umat dan kelompok yang sekarang ini masih berada pada pinggir Gereja-Gereja besar.
Dapat diharapkan, bahwa di dalam kelompok-kelompok pelopor itu muncul kristologi
bagi Asia, yakni kisah tentang Yesus yang diceritakan oleh orang-orang Kristen
Asia yang berani mengikuti Yesus pada jalan-Nya dari sungai Yordan ke bukit
Kalvari.[4]
1.
JB Banawiratma
Persoalan kemiskinan yang tak
kunjung selesai dan semakin meruncing membwa kegelisahan terhadap salah satu
pemuka Kristen Indonesia, dia adalah Johanes Baptista Banawiratma atau dikenal dengan JB Banawiratma. ia mencoba merefleksikan kekristenan ala Indonesia, dan menemukan
apa yang disebutnya dengan teologi fungsional. Teologi fungsional
merupakan suatu usaha berteologi yang
secara eksplisit berpangkal pada pengalaman manusiawi dan pengalaman iman
(berpangkal pada pengalaman kontekstual) dan ingin membantu penghayatan iman.
ada tiga alasan usaha untuk fungsionalisasi (atau inkulturasi atau
kontekstualisasi).
a.
Penghayatan Iman Kristiani yang
mendasarkan pada injil Yesus Kristus selalu terjadi pada situasi, lingkungan,
konteks, atau tata budaya tertentu yang konkret.
b.
konteks konkret atau tata budaya konkret
tersebut bukanlah hanya “objek” yang disapa injil, melainkan “subjek” yang
aktif. Nilai-nilai manusiawi yang terkandung di situ dibutuhkan untuk
memperkaya penghayatan Injil Yesus Kristus.
c.
Menjadi beriman berarti dipanggil untuk
menjadi ciptaan baru 5:15; 17- 18a). Dalam situasi hidup nyata di gereja dipanggill
untuk hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru bukanlah barang jadi produk
upacara baptisan, melainkan suatu pergulatan terus-menerus berada di mana Yesus
Kristus berada.
Ada
empat aspek dalam pemahaman teologi fungsional ini, yaitu “fungsional” adalah
pemahaman yang kurang memadai empat aspek yaitu eskatologis,eskatologis,
soteriologis, kristologis dan teologis.[5]
1.
Berdasarkan aspek eskatologis,
Kerajaan Allah merupakan tidakan Allah yang memiliki ciri
eskatologis-transenden. Kerajaan Allah tidak dapaat diidentifikasikan dengan
pemenuhan hukum atau suatu teokrasi politis di dunia ini. Kenyataan hokum yang
diratifikasi oleh gereja yang bernama dogma gereja itu seringkali melebihi
hukum yang dibuat oleh Tuhan.
2.
Berdasarkan aspek soteriologis, Kalau
Allah meraja, maka keselamatan manusia juga yang diperhatikan. Keselamatan
bukanlah hanya keselamatan rohani saja, melainkan menyangkut keselamatan
manusia dengan dimensi jasmani dan sosialnya.
3.
Berdasarkan aspek Kristologis,
dalam Injil permakluman Kerajaan Allah sangat erat hubungannya dengan pribadi
Yesus sendiri. Dalam keterlibatan yang mendasar Yesus menjalani hidup-Nya untuk
pelayanan Kerajaan Allah sampai kematian-Nya di kayu salib. Allah membangkitkan
Yesus dari antara orang mati. Itu berati Allah berada pada pihak Yesus. Apa
yang dikatakan dan dikerjakan Yesus menyebabkan Dia disalib berlaku sangat
definitif. Apa yang dikatakan dan dikerjakan Yesus sebagai anggota masyarakat,
khususnya untuk membela yang miskin dan tertindas belum menjadi spirit orang
Kristen Indonesia, baik dalam tindakan dan gerakan secara institusi dan
organisatoris. Padahal kematian dan pengorbanan Yesus untuk umat manusia adalah
anugerah terindah yang harus menjadi keyakinan hidup manusia yang percaya.
4.
Berdasark aspek Teologis,
permakluman Yesus mengenai Kerajaan Allah Kristus mewahyukan secara baru
siapakah Allah itu. Yesus menyebut Allah, Abba. Bapa tercinta.
Kebangkitan Yesus meneguhkan “tuntutan”-Nya sebagai Anak Allah. Para murid
Yesus diajari berdoa “Bapa Kami”. Partisipasi dalam kehidupan “Anak” itu sesudah
kebangkitan-Nya dimengerti sebagai buah Roh Kudus, Roh Yang datang dari Allah
melalui Yesus. Paradoks yang sering dijumpai dalam praksis bergereja, seakan-akan
Roh Kudus adalah bagian yang terpisah dari Tuhan Yesus sehingga harus
didatangkan keberadaannya dengan bahasa “khusus” untuk memberkati, menyembuhkan,
menolong, dan melakukan apa saja untuk “menyenangkan” manusia.
Teologi yang memihak
kaum miskin
Terdapat tiga bentuk keterlibatan
pada kaum miskin. Pertama, kurang lebih terbatas, dalam bentuk kunjungan
ke komunitas-komunitas orang miskin, pertemuan-pertemuan, pendampingan
terbatas, dukungan terhadap komunitaskomunitas beserta gerakan-gerakan mereka. Kedua,
kerja ilmiah, menjalankan penelitian, menyampaikan penalaran profetis,
kritis-kreatif, yang didorong oleh keterlibatan praktis berkaitan dengan
keprihatinanm komunitas tersebut. Ketiga, hidup di tengah rakyat dan
bekerja bersama rakyat miskin.
Aksi untuk melibatkan diri pada kaum miskin butir
pertama yang mendesak dilakukan saat ini oleh gereja adalah menumbuhkan
kesejahteraan mereka yang miskin dengan memberi dan menciptakan lapangan kerja,
memberikan pendidikan yang murah dan mudah dengan potensi yang ada, dan
memberikan “beasiswa” kepada mereka yang miskin. Karena keterbatasan, orang
Kristen Indonesia belum mampu seperti Bunda Teresa, yang mengumpulkan
gelandangan pada jam-jam terakhir menjelang kematiannya. Kesetiakawanan Bunda
Teresa dengan kawankawannya adalah satu jalan mengikuti Yesus, hadir dan
menemani penuh bela rasa. Demikian pula apa yang telah dilakukan oleh Pater
Werner pada tahun 1970-1975 yang menemani tahanan politik di Pulau Buru.
Kehadiran itu bagi mereka adalah berkah yang memberikan pengharapan.[6]
Masih banyak model pelibatan diri untuk memanusiakan
orang miskin di daerah-daerah terpencil di tengah hutan, di pinggir pantai,
atau di tempat-tempat miskin yang kekurangan pangan. Menjadi misionaris ke
Sanggau Ledo, Manokwari, Wamena, Serui, Lembata, dan daerah-daeerah tertinggal
di Indonesia untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui pendidikan dan
pelatihan yang bermuara pada penumbuhan rasa percaya diri bagi manusia sudah
merupakan kewajiban murid Yesus.
Keterlibatan sosial Gereja Indonesia untuk masa depan
adalah perjuangan cinta kasih dan keadilan, membangun persaudaraan semua orang,
mendahulukan kaum miskin. Pentingnya “Komunitas Basis Manusiawi” dan “Komunitas
Basis Antar Iman”. Dalam hubungannya dengan keyakinan lain, Iman mempunyai
dimensi keterlibatan besama untuk kesejahteraan hidup bersama, melawan
ketidakadilan.
Nilai-nilai pengalaman religius lain memperkaya
dalam dialog dan kerjasama.[7]
Munculnya disharmoni antariman yang selama ini dirasakan adalah keridakmampuan
memahami dan mersakan pengalaman religius lain dan berusaha untuk meningkatkan
toleransi dan kerjasama. Menggunakan alat musik lengkap yang keras dan bising
di lingkungan yang tenang misalnya, dapat mengudang reaksi protes kalau peserta
ibadah tidak memahami konteks di mana gereja itu berada.
Kepedulian
warga gereja terhadap lingkungan sosialnya pada akhirnya dapat menciptakan
dialog dan kerjasama dalam memerangi kemiskinan dan pembodohan. Sudah
seharusnya warga gereja sanggup berkorban pada masyarakat, karena gereja juga
merupakan bagian dari masyarakat. Keikutsertaan dalam kegiatan masyarakat dalam
kerja bakti, ronda malam, dan “mbangun desa” oleh warga gereja merupakan bentuk
sosialisasi bahwa gereja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat. Warga gereja dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan
membagi-bagi berkat dalam kegiatan natal dan paskah dengan pemberian sembako,
pelayanan kesehatan, bakti masyarakat, bahkan keterlibatan warga gereja dalam
kepengurusan di masyarakat.
Warga gereja perlu terampil berperan di masyarakat.
Mereka yang sakit diberi obat. Mereka yang kekurangan makan diberi makanan.
Mereka yang tidak pernah ganti baju diberi pakaian. Mereka yang tidak bisa
sekolah diberi beasiswa. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal diberi
tumpangan. Jika hal itu dilakukan, gereja merupakan media penggaraman. Mereka
dapat berjalan tanpa harus dipaksa berjalan. Dengan demikian gereja dapat hidup
dan peduli ditengah-tengah masyakat.
Daftar
Pustaka
Ariyanto, M. Darojat. Teologi Kristen Modern Di Asia,
SUHUF Vol. 23, No. 1, 2011.
Banawiratma, JB.
“Teologi Fungsional-Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia (Eka Darmaputera, Editor), Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997.
Banawiratma, JB dan
Muller, J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup
Beriman. Yogyakarta: Kanisius. 1993.
http://Aloysius-Pieris-An-Asian-Theology-of-Liberation&prev.
diakses tanggal 27 Mei 2013 jam 10.00.
http://id.wikipedia.org/wiki/Teologi_pembebasan
diakses tanggal 27 Mei 2013 jam 10.00.
http://lucassvd.blogspot.com/2008/11/kristologi-aloysius-pieris-sj.html
diakses tanggal 27 Mei 2013 jam 10.00.
[2]
Drewes, B.F. dan Mojau, Julianus. Apa itu
Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2007,
hlm. 64. Dikutip dari M.
Darojat Ariyanto , Teologi Kristen Modern Di Asia, SUHUF Vol. 23, No. 1, 2011,
hal. 69.
[5]
Banawiratma, JB, “Teologi Fungsional-Kontekstual” dalam Konteks Berteologi
di Indonesia (Eka
Darmaputera, Editor), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, Hal. 48-49.
[6]
Ibid, hal. 142.
[7]
Banawiratma, JB dan Muller, J, Berteologi Sosial Lintas Ilmu.
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup
Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Hal 237.
Menarik, zis...apalagi kalau kepada siapa tulisan ini ditujukan bisa implisit dalam tulisan. Plus, bagaimana tulisan ini dapat diterapkan dalam masyarakat agama-agama?
BalasHapus