2013-05-30

Teologi Kemiskinan Di Asia


Teologi Pembebasan muncul pada abad 20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang menjadikan manusia terbelenggu, terpenjara, teralienasi dan pada akhirnya mereka menjadi tidak merdeka. Manusia dengan kemerdekaannya, seharusnya ,menggunakan itu unt memakmurkan bumi buan kemudian menjadikan kekuasaan dan jabatan yang dimiliki untuk menekan, menindas bahkan menghapuskan kemerdekaan dari manusia lain dengan alasan kepentingan pribadi mereka. Teologi pembebasan muncul pertama kali di Eropa dengan berkonsentrasi pada persoalan globalisasi dan juga pada keprihatin pada dosa sosial yang terdapat pada sistem pemerintahan sebuah negara. Teologi Pembebasan kala itu, menawarkan sistem sosial yang mengedepankan keadilan kepada warga negara dan warga dunia dalam pandangan agama (manusia yang adil, tidak tertindas) yang dirusak oleh manusia sendiri. Sementara itu, teologi pembebasan yang lahir di Amerika Latin berfokus pada gerakan perlawanan yang kebanyakan dipimpin oleh para agamawan terhadap kekuasaan yang hegemoni dan otoriter.
Pemikiran Teologi Pembebasan merupakan hasil refleksi bersama suatu komunitas (Kristen) terhadap suatu persoalan sosial yang sedang dihadapi dalam suatu relatas masyrakat tertentu. Sehingga, ia bukan hanya lagi milik kau agamawan semata, masyarakat pun terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan itu. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural. Teologi pembebasan merupakan hasil dari penafsiran ulang  peran Yesus sebagai inkarnasi Tuhan di dunia modern dengan tetap berpacu pada Alkitab. Hal ini dilakukan guna mengkontekstualisasikan Kristen sebagai agama yag bukan hanya terbatas wilayah gereja semata tetapi juga  mampu merasakan apa yang sedang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat. Akibatnya, ia harus mampu untuk menjawab persoalan yang dihadai rakyat dengan menafsirkan kembali peran Yesus yang menyelamatkan umat manusia.
 Setelah menafsirkan pesan-pesan dalam Alkitab berdasarkan tindakan Yesus yang membela dan menolong orang-orang lemah, sakit, dan tertindas, maka peran agama juga seharusnya demikian. Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagai lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yan lebih diutamakan dan ditekankan biasanya pada niai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai tersebut di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan yang pada akhirnya melahirkan Teologi Pembebasan. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus adalah Tuhan yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya. [1]
Persoalan yang berbeda dengan kondisi yang berbeda akan menimbulkan reaksi iman yang berbeda.  Seperti Kekristenan di banyak Negara Asia berhadapan dengan konteks kemiskinan dan hidup di tengah-tengah  mayoritas penganut agama-agama lain, maka respon yang terjadi di Asia itu pasti berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa. Jumlah penduduk yang beragama Kristen pun akan mempengaruhi arah gerakan yang mereka lakukan. Seperti di Filipina dan Korea Selatan yang berpenduduk Kristen mayoritas, pasti akan berbeda dengan negera-negara lain seperti Cina, Korea Utara, Vietnam, dan Kampuchea yang penduduknya Kristennya minoritas. Teologi di Asia inilah yang akan disoroti dalam tulisan ini.
Benua Asia mempunyai wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduknya sangat padat. Kemajemukan yang menjadi ciri Asia juga telah melahirkan pendekatan teologis yang beranekaragam. Dalam hubungannya dengan gereja-gereja sedunia, pengakuan terhadap Allah sebagai Khalik dan inkarnasi Firman Allah dalam Yesus Kristus merupakan dasar bagi banyak pergumulan teologis selama berabad-abad. Makna pokok-pokok pengakuan tersebut digumuli demi damai sejahtera manusia di Asia. Ada dua segi teologi di Asia yang majemuk, yaitu pertemuan dengan agama-agama lain dan perhatian bagi pergumulan orang miskin.[2]
Sebenarnya, Latar belakang Teologi Pembebasan (lebih dikenal dengan teologi kemiskinan) Asia tidak jauh berbeda dengan teologi pembebasan di wilayah lain (Amerika Latin atau Afrika). Meski Asia adalah tempat lahirnya agama-agama, akan tetapi yang tampak adalah bahwa agama di Asia tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan masyarakat dari fenomena ketertindasan, kemelaratan, kemiskinan, dan pertikaian antar-kelompok yang tiada henti. Malah agama ditunggangi oleh kelompok elit masyarakat tertentu untuk dijadikan basis legitimasi demi kemakmuran mereka sendiri.
Keprihatinan seperti itulah yang melahirkan gerakan-gerakan pembebasan berbasis agama di beberapa kawasan Asia, seperti teologi Minjung di Korea, teologi Perjuangan di Filipina, dan teologi Dalit di India. Demikian juga ketika kelompok-kelompok agama Konghucu di Cina, Hindu di India, Budha di Sri Langka, serta Islam di Pakistan, Iran, atau Indonesia, mencoba berjuang menuntaskan problem-problem ketertindasan dan kemiskinan.
Dalam pembahasan ini, akan dikerucutkan kepada beberapa okoh, meskiun ha ini tidak bias dijadikan patokan maupun ukuran, namun hal ini bias memberikan gambaran sedikit tentang telogi kemiskinan di asia. Tokoh terebut adalah Aloysius Pieris dari Sri Langka dan JB Banawiratma dari Indonesia.
1.      Aloysius Pieris
Ia lahir di Ampitiya, Sri Lanka, pada tahun 1934. Ia masuk Serikat Yesus pada umur 19 tahun dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan lisensiat filsafatnya di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India, pada tahun 1959. Karena dibesarkan dalam suatu daerah mayoritas masyarakatnya memeluk agama Buddha, Pieris segera menyadari bahwa, untuk dapat bekerja secara efektif sebagai imam di tanah airnya sendiri, ia harus belajar agama Buddha (Rubianto 1996, 20-21)  sehingga ia mempunyai hubungan dialog dan pengalaman yang erat dengan kaum Buddhis. Ia berhubungan dengan agama lain dalam rangka menceburkan diri dalam perjuangannya untuk pembebasan orang-orang miskin (Amaladoss 2001, 191). Fokus teologinya ialah mengembangkan Teologi Pembebasan bergaya Asia yang memperhitungkan kemiskinan Asia.
Agama Buddha melihat penyebab kemiskinan adalah hasrat keinginan untuk mempunyai barang-barang jasmani dan hasrat keinginan ini mendorong orang untuk memeras dan memelaratkan orang lain. Maka dari itu, hasrat keinginan itu dilawan dengan pilihan untuk hidup miskin, dengan meninggalkan baik keinginan untuk memiliki maupun kenyataan memiliki barang-barang jasmani. Menurut Pieris, memilih hidup miskin demi kepentingan kaum miskin ialah suatu perjuangan yang mendatangkan pembebasan setiap orang dari kemiskinan yang dikarenakan struktur-struktur ekonomi dan politik yang tak adil. Pieris melihat dalam suri teladan Yesus, ada pilihan seperti itu. Dalam perjuangan yang terus menerus di dunia antara Allah dan Mamon, Yesus memilih menjadi miskin sejak waktu kelahiran-Nya juga (Amaladoss 2001, 192). Dalam diri Yesus, ada Allah yang bersama dengan kaum miskin demi pembebasan mereka (Amaladoss 2001, 194). Dengan Buddhologi, Kristologi tidak dalam upaya untuk menjadi saingan, melainkan melengkapinya. Orang-orang Kristen menyatukan diri dengan para penganut Buddhisme untuk menarik diri dari dunia karena gnosis (menjalani hidup miskin dengan sukarela), dan para penganut Buddhisme bersatu padu dengan orang-orang Kristen untuk terjun ke dalam dunia karena cinta kasih untuk melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang dipaksakan (R. Sugirtharajah 1996, 102).
Dalam teologi pembebasannya, Pieris menganjurkan orang Kristen agar memberi diri mereka untuk melayani orang miskin. Dia menggabungkan konsep anatta atau penolakan diri yang terdapat dalam agama Buddha dengan dengan konsep pengabdian Kristen. Ia menegaskan bahwa dasar tugas dan panggilan umat Kristen di Sri Lanka adalah menjadi satu dengan orang miskin. (Ruck 1997, 272).
Aloysius Pieris mengkritik Teologi Pembebasan dari Amerika Latin dan Afrika kurang cocok untuk masyarakat Asia. Kemiskinan yang dilihat dari kacamata Marxisme belumlah efektif ketika tidak melihat akar permasalahan secara lebih dalam di Asia sendiri. Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dari konteks Asia adalah pendekatan multikulural. Asia oleh Pieris disebut sebagai 'dunia ketiga' yang memiliki akar 'religio-kultural' yang tidak terpisahkan. 'Reoligio-Kultural' ini setidaknya diuraikan oleh Pieris dalam tiga hal; 1. heterogenitas linguistik, 2. integrasi unsur-unsur kosmik dan metakosmik dalam agama-agama di Asia, dan 3. kehadiran luar biasa dari ajaran-ajaran keselamatan (soteriologis') bukan Kristen.
Menurut Pieris, Teologi Asia adalah cara orang harus merasa, menyadari dan melakukan sesuatu sebagaimana terwujud dalam pergumulan dan perjuangan rakyat Asia demi mencapai emansipasi spiritual dan sosial, serta dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan dan bahasa kebudayaan Asia. Dengan demikian, memahami teologi Asia harus terus merefleksikan pertautan antara kemiskinan dan kereligiusan dalam pergumulan hidup bangsa Asia. Sekalipun Asia memiliki matriks teologi yang khas, Asia ada dalam dilema antara teologi Eropa dan teologi Pembebasan Amerika Latin. Dilema ini hanya dapat diterobos bilamana ada rasa Asia dalam teologi di mana kemiskinan dan religiusitas merupakan Sensus Theologicum. Oleh karena itu, teologi yang relevan untuk benua Asia adalah teologi melalui partisipasi. Dalam partisipasi inilah, maka proses penginjilan bangsa Asia dan teologi akan membantu Gereja Asia menjadi “Gereja lokal dari Asia” yang sangat berbeda dengan “Gereja lokal di Asia.[3]
Seperti yang telah dikemukan di atas bahwa refleksi kristologi dalam konteks Asia Pieris bertitik tolak dari munculnya dua realitas Asia yang mencolok dan mencekam, yaitu adanya kemiskinan dan pluralitas agama yang keduanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan. Oleh karena itu, sebagai jalan keluar atau jalan menuju kristologi yang cocok bagi Asia dewasa ini, Pieris menganjurkan:
a.       Kembali kepada kehadiran Yesus
Menurut Pieris bahwa teolog Asia banyak yang menolak “keunikan Kristus”, oleh karena Kristus lebih dilihat sebagai gelar, sebuah gagasan dengannya sebuah kebudayaan tertentu mencoba menyatakan misteri yang terdapat dalam pribadi, karya dan ajaran Yesus. Gelar itu tidak absolut, yang absolut justru misteri penyelamatan yang diwartakan semua agama besar sesudah berabad-abad lamanya. Jadi dalam hal ini jelaslah bahwa bukan gelarlah yang menyelamatkan, melainkan Sang Pengantara itu sendiri yang menyelamatkan.
Menurut Pieris, Misteri “Tritunggal” juga merupakan kenyataan soteriologis fundamental yang terdapat di dalam banyak kebudayaan religius Asia. Pembicaraan mengenai “Putera Allah” justru akan memiliki arti bila dihubungkan dengan konteks penyelamatan yang dapat disapa di dalam hati orang Asia, bagi Pieris, kita akan bisa menemukan tempat yang peka dan terbuka itu, apabila kita mau mengulangi langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh Yesus sendiri untuk memperkenalkan pribadi-Nya dalam konteks religiusitas dan kemiskinan Asia. Dengan demikian tampaklah bahwa hubungan refleksi Kristologis Pieris dengan soteriologis Asia tidak boleh saling dipisahkan.
b.      Merumuskan Suatu Formula Baru yang sesuai bagi Asia
Menurut Pieris, formula kristologi baru yang perlu dipertemukan di Asia, tidak lain ialah Gereja yang secara otentik bersifat Asia. Ia merasa yakin, selama Gereja tidak masuk ke dalam air baptis religiusitas Asia dan melibatkan diri dari dalam derita dan salib kemiskinan Asia, maka tidak mungkin Gereja Asia itu menciptakan sebuah kristologi bagi Asia. Pieris juga melihat revolusi gerejani macam ini sudah mulai di dalam beberapa umat dan kelompok yang sekarang ini masih berada pada pinggir Gereja-Gereja besar. Dapat diharapkan, bahwa di dalam kelompok-kelompok pelopor itu muncul kristologi bagi Asia, yakni kisah tentang Yesus yang diceritakan oleh orang-orang Kristen Asia yang berani mengikuti Yesus pada jalan-Nya dari sungai Yordan ke bukit Kalvari.[4]
1.      JB Banawiratma  
Persoalan kemiskinan yang tak kunjung selesai dan semakin meruncing membwa kegelisahan terhadap salah satu pemuka Kristen Indonesia, dia adalah Johanes Baptista Banawiratma atau dikenal dengan  JB Banawiratma. ia mencoba merefleksikan kekristenan ala Indonesia, dan menemukan apa yang disebutnya dengan teologi fungsional. Teologi fungsional merupakan   suatu usaha berteologi yang secara eksplisit berpangkal pada pengalaman manusiawi dan pengalaman iman (berpangkal pada pengalaman kontekstual) dan ingin membantu penghayatan iman. ada tiga alasan usaha untuk fungsionalisasi (atau inkulturasi atau kontekstualisasi).
a.       Penghayatan Iman Kristiani yang mendasarkan pada injil Yesus Kristus selalu terjadi pada situasi, lingkungan, konteks, atau tata budaya tertentu yang konkret.
b.      konteks konkret atau tata budaya konkret tersebut bukanlah hanya “objek” yang disapa injil, melainkan “subjek” yang aktif. Nilai-nilai manusiawi yang terkandung di situ dibutuhkan untuk memperkaya penghayatan Injil Yesus Kristus.
c.       Menjadi beriman berarti dipanggil untuk menjadi ciptaan baru 5:15; 17- 18a). Dalam situasi hidup nyata di gereja dipanggill untuk hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru bukanlah barang jadi produk upacara baptisan, melainkan suatu pergulatan terus-menerus berada di mana Yesus Kristus berada.

Ada empat aspek dalam pemahaman teologi fungsional ini, yaitu “fungsional” adalah pemahaman yang kurang memadai empat aspek yaitu eskatologis,eskatologis, soteriologis, kristologis dan teologis.[5]
1.      Berdasarkan aspek eskatologis, Kerajaan Allah merupakan tidakan Allah yang memiliki ciri eskatologis-transenden. Kerajaan Allah tidak dapaat diidentifikasikan dengan pemenuhan hukum atau suatu teokrasi politis di dunia ini. Kenyataan hokum yang diratifikasi oleh gereja yang bernama dogma gereja itu seringkali melebihi hukum yang dibuat oleh Tuhan.
2.      Berdasarkan aspek soteriologis, Kalau Allah meraja, maka keselamatan manusia juga yang diperhatikan. Keselamatan bukanlah hanya keselamatan rohani saja, melainkan menyangkut keselamatan manusia dengan dimensi jasmani dan sosialnya.
3.      Berdasarkan aspek Kristologis, dalam Injil permakluman Kerajaan Allah sangat erat hubungannya dengan pribadi Yesus sendiri. Dalam keterlibatan yang mendasar Yesus menjalani hidup-Nya untuk pelayanan Kerajaan Allah sampai kematian-Nya di kayu salib. Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Itu berati Allah berada pada pihak Yesus. Apa yang dikatakan dan dikerjakan Yesus menyebabkan Dia disalib berlaku sangat definitif. Apa yang dikatakan dan dikerjakan Yesus sebagai anggota masyarakat, khususnya untuk membela yang miskin dan tertindas belum menjadi spirit orang Kristen Indonesia, baik dalam tindakan dan gerakan secara institusi dan organisatoris. Padahal kematian dan pengorbanan Yesus untuk umat manusia adalah anugerah terindah yang harus menjadi keyakinan hidup manusia yang percaya.
4.      Berdasark aspek Teologis, permakluman Yesus mengenai Kerajaan Allah Kristus mewahyukan secara baru siapakah Allah itu. Yesus menyebut Allah, Abba. Bapa tercinta. Kebangkitan Yesus meneguhkan “tuntutan”-Nya sebagai Anak Allah. Para murid Yesus diajari berdoa “Bapa Kami”. Partisipasi dalam kehidupan “Anak” itu sesudah kebangkitan-Nya dimengerti sebagai buah Roh Kudus, Roh Yang datang dari Allah melalui Yesus. Paradoks yang sering dijumpai dalam praksis bergereja, seakan-akan Roh Kudus adalah bagian yang terpisah dari Tuhan Yesus sehingga harus didatangkan keberadaannya dengan bahasa “khusus” untuk memberkati, menyembuhkan, menolong, dan melakukan apa saja untuk “menyenangkan” manusia.
Teologi yang memihak kaum miskin
            Terdapat tiga bentuk keterlibatan pada kaum miskin. Pertama, kurang lebih terbatas, dalam bentuk kunjungan ke komunitas-komunitas orang miskin, pertemuan-pertemuan, pendampingan terbatas, dukungan terhadap komunitaskomunitas beserta gerakan-gerakan mereka. Kedua, kerja ilmiah, menjalankan penelitian, menyampaikan penalaran profetis, kritis-kreatif, yang didorong oleh keterlibatan praktis berkaitan dengan keprihatinanm komunitas tersebut. Ketiga, hidup di tengah rakyat dan bekerja bersama rakyat miskin.
Aksi untuk melibatkan diri pada kaum miskin butir pertama yang mendesak dilakukan saat ini oleh gereja adalah menumbuhkan kesejahteraan mereka yang miskin dengan memberi dan menciptakan lapangan kerja, memberikan pendidikan yang murah dan mudah dengan potensi yang ada, dan memberikan “beasiswa” kepada mereka yang miskin. Karena keterbatasan, orang Kristen Indonesia belum mampu seperti Bunda Teresa, yang mengumpulkan gelandangan pada jam-jam terakhir menjelang kematiannya. Kesetiakawanan Bunda Teresa dengan kawankawannya adalah satu jalan mengikuti Yesus, hadir dan menemani penuh bela rasa. Demikian pula apa yang telah dilakukan oleh Pater Werner pada tahun 1970-1975 yang menemani tahanan politik di Pulau Buru. Kehadiran itu bagi mereka adalah berkah yang memberikan pengharapan.[6]
Masih banyak model pelibatan diri untuk memanusiakan orang miskin di daerah-daerah terpencil di tengah hutan, di pinggir pantai, atau di tempat-tempat miskin yang kekurangan pangan. Menjadi misionaris ke Sanggau Ledo, Manokwari, Wamena, Serui, Lembata, dan daerah-daeerah tertinggal di Indonesia untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui pendidikan dan pelatihan yang bermuara pada penumbuhan rasa percaya diri bagi manusia sudah merupakan kewajiban murid Yesus.
Keterlibatan sosial Gereja Indonesia untuk masa depan adalah perjuangan cinta kasih dan keadilan, membangun persaudaraan semua orang, mendahulukan kaum miskin. Pentingnya “Komunitas Basis Manusiawi” dan “Komunitas Basis Antar Iman”. Dalam hubungannya dengan keyakinan lain, Iman mempunyai dimensi keterlibatan besama untuk kesejahteraan hidup bersama, melawan ketidakadilan.
Nilai-nilai pengalaman religius lain memperkaya dalam dialog dan kerjasama.[7] Munculnya disharmoni antariman yang selama ini dirasakan adalah keridakmampuan memahami dan mersakan pengalaman religius lain dan berusaha untuk meningkatkan toleransi dan kerjasama. Menggunakan alat musik lengkap yang keras dan bising di lingkungan yang tenang misalnya, dapat mengudang reaksi protes kalau peserta ibadah tidak memahami konteks di mana gereja itu berada.
Kepedulian warga gereja terhadap lingkungan sosialnya pada akhirnya dapat menciptakan dialog dan kerjasama dalam memerangi kemiskinan dan pembodohan. Sudah seharusnya warga gereja sanggup berkorban pada masyarakat, karena gereja juga merupakan bagian dari masyarakat. Keikutsertaan dalam kegiatan masyarakat dalam kerja bakti, ronda malam, dan “mbangun desa” oleh warga gereja merupakan bentuk sosialisasi bahwa gereja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Warga gereja dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan membagi-bagi berkat dalam kegiatan natal dan paskah dengan pemberian sembako, pelayanan kesehatan, bakti masyarakat, bahkan keterlibatan warga gereja dalam kepengurusan di masyarakat.
Warga gereja perlu terampil berperan di masyarakat. Mereka yang sakit diberi obat. Mereka yang kekurangan makan diberi makanan. Mereka yang tidak pernah ganti baju diberi pakaian. Mereka yang tidak bisa sekolah diberi beasiswa. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal diberi tumpangan. Jika hal itu dilakukan, gereja merupakan media penggaraman. Mereka dapat berjalan tanpa harus dipaksa berjalan. Dengan demikian gereja dapat hidup dan peduli ditengah-tengah masyakat.

Daftar Pustaka

Ariyanto, M. Darojat. Teologi Kristen Modern Di Asia, SUHUF Vol. 23, No. 1, 2011.
Banawiratma, JB. “Teologi Fungsional-Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia   (Eka Darmaputera, Editor), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Banawiratma, JB dan Muller, J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius. 1993.
http://Aloysius-Pieris-An-Asian-Theology-of-Liberation&prev. diakses tanggal 27 Mei 2013 jam 10.00.
http://id.wikipedia.org/wiki/Teologi_pembebasan diakses tanggal 27 Mei 2013 jam 10.00.





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Teologi_pembebasan
[2] Drewes, B.F. dan Mojau, Julianus. Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2007, hlm. 64. Dikutip dari M. Darojat Ariyanto , Teologi Kristen Modern Di Asia, SUHUF Vol. 23, No. 1, 2011, hal. 69.

[3] http:// Aloysius-Pieris-An-Asian-Theology-of-Liberation&prev.
[4] http://lucassvd.blogspot.com/2008/11/kristologi-aloysius-pieris-sj.html
[5] Banawiratma, JB, “Teologi Fungsional-Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia (Eka
Darmaputera, Editor), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, Hal. 48-49.
[6] Ibid, hal. 142.
[7] Banawiratma, JB dan Muller, J, Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup
Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Hal 237.

1 komentar:

  1. Menarik, zis...apalagi kalau kepada siapa tulisan ini ditujukan bisa implisit dalam tulisan. Plus, bagaimana tulisan ini dapat diterapkan dalam masyarakat agama-agama?

    BalasHapus