Membicarakan pemikiran
Nurcholish Madjid memang tak ada habis-habisnya, perspektif baru yang
ditawarkanya selalu menimbulkan tanda tanya, darimana datangnya perspektif
tersebut? Apakah murni hasil pemikirannya ataukah ia mengadopsi pemikiran orang
lain. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk merefleksikan teologi dialektis
Karl Barth –teolog Swiss – dalam pemikiran Cak Nur, meskipun demikian saya
tidak bermaksud mengklaim bahwa pemikiran Cak Nur tersebut merupakan hasil
adopsi dari pemikiran dialektis Barth, saya mempersilakan kepada pembaca untuk
menyimpulkan sendiri.
Sebelum masuk lebih jauh, paling tidak kita tahu tentang kedua sosok di atas.
Keduanya berasal dari dua kelompok besar aliran pemikiran di dunia ini, yaitu
Islam dan Kristen. Karl Barth lahir di Swiss pada 10 mei 1886. Ia banyak
belajar dari guru-gurunya yang dikategorikan dalam teolog liberal seperti Adolph von Harnack dan Soren Kierkegaard (1813-1855). Namun berbeda dengan
guru-gurunya yang liberal, Barth berbalik arah dan merefleksikan ulang
pemikiran-pemikiran mereka yang dikira terampau jauh dan sangat antroposntris
sehingga kering nilai keilahiaannya. Maka dari itu, Barth mencoba
mensintesiskan secara aktif antara pemikiran liberal di satu sisi dan
tradisional di sisi lain, ia dikenal sebagai tokoh neo-orthodok dalam teologi
Kristen Modern. Pemikiran Barth berpusat pada Kristologi (menjadikan Kristus
sebagai pusat pemikirannya). Barth juga aktif dalam berkarya, karya monumentalnya
yaitu dogmatika gereja yang terdiri dari 13 jilid. Sementara Cak Nur lahir di Jombang
pada 17 maret 1939. Masa kecilnya ia belajar di pondok Modern Gontor,
Ponorogo sebelum kemudian melanjutkan ke UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab
dan melanjutkan ke Chicago untuk meneruskan studinya. Selama di Chicago ia
banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran modernis terutama dengan gurunya,
Fazlur Rahman seorang muslim keturunan Pakistan yang menjadi guru besar disana.
Pemikiran Cak Nur berpusat pada tawhid.
Cak Nur juga aktif menulis, diantara karya-karyanya yaitu Islam, Doktrin dan
peradaban, Islam agama kemanusiaan, Islam agama peradaban, dll.
Ketika kita membaca
tulisan-tulisan Cak Nur, maka kita akan disajikan dengan rangkaian bangunan
epitemologi pemikirannya yang berpuncak pada tawhid. Tawhid merupakan dasar pijakan pemikiran Cak
Nur, sebagaimana yang terdapat dalam “Islam, Doktrin dan Peradaban”. Dari tawhid inilah, Cak Nur kemudian
mengembangkannya pemikirannya melalui refleksi-refleki yang dilakukan olehnya,
sehingga menghasilkan konsep kemanusiaan yang pada akhirnya berujung pada
keadilan.
Ketika membicarakan konsep tawhid Cak
Nur, kita akan menemukan konsep Muthlak dan konsep nisbi atau konsep Absolut
dan tidak absolut. Dan ketika kita mencoba menariknya dalam ilmu kalam kita
akan kesulitan melacaknya, kenapa demikian? Karena konsep yang ditawarkannya
relatif baru dalam hal teologi Islam. Konsep yang Muthlak atau absolut merujuk
pada Tuhan universal dari umat manusia, bukan hanya terbatas pada satu agama
saja. Yang absolut itu pasti bersifat tunggal, dan ketika ia tidak tunggal
pastinya ia bukan lagi absolut tetapi sudah nisbi. Untuk itu, yang absolut atau
muthak itu mesti tak terbatas, lawan dari absolut adalah nisbi. Konsep nisbi
merujuk pada manusia –dan semua makhluk yang diciptakan oleh yang absolute,
seperti alam semesta, hewan dan tumbuhan. Dengan demikian ada dua entitas besar
yang berdiri pada posisinya masing-masing yaitu yang Muthlak dan yang Nisbi.
Sesuatu yang nisbi tidak
mungkin mencapai yang muthlak dengan usahanya sendiri semata. Karena
bagaimanapun yang terbatas tidak mungkin menjangkau sesuatu yang tak terbatas,
kecuali yang tak terbatas itu memberikan semacam pertolongan atau bantuan
kepada yang terbatas tersebut. Hal inilah yang kita dapatkan dari konsep
pemikirannya Cak Nur. Sekuat apapun manusia berusaha untuk mencapai Tuhan (dengan
bantuan fitrahnya), ia tidak mungkin dapat mengakses Tuhan secara total. Tetapi
Tuhan dengan rahimnya berbaik hati, dengan memberikan petunjuk kepada manusia
bagaimana caranya dapat menuju kepada-Nya. Bantuan dari Tuhan inilah yang kita
kenal dengan Firman Tuhan atau kitab suci (Al-Qur’an), yang diberikan kepada
orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas tertentu, yang dalam Islam kita
mengenalnya dengan Rasul. Dari al-Qur’an inilah manusia dapat mencapai Tuhan,
tetapi sifatnya hanya mendekati bukan mencapai secara penuh.
Dan ketika kita komparasikan
dengan pemikiran teologi dialektis Barth, maka kita akan menemukan banyak
kesamaan. Konsep dialektis Barth, Tuhan dan manusia secara aktif bertemu untuk berdialektik.
Manusia berusaha secara aktif untuk mencapai Tuhan, sementara Tuhan juga memberikan
bantuan secara aktif kepada manusia berupa firman. Melalui firman inilah manusia
dapat kembali kepada Tuhan –yang dalam tradisi Kristiani Firman itu merupakan
Yesus Kristus. Yesus merupakan rahmat Tuhan, yang diberikan kepada manusia
untuk menebus dosa mereka –kita kenal dalam tradisi Kristen terdapat dosa asal
atau dosa waris yang telah ada bahkan semenjak manusia itu dilahirkan.
Sementara tugas manusia adalah bagaimana kemudian ia mengakses Yesus ini secara
terus menerus untuk mencapai Tuhan –Iman dalam tradisi Kristen diartikan
sebagai proses terus-menerus untuk mencapai kebenaran, sementara dalam tradisi
Islam iaman merupak sesuatu yang sudah jadi makanya manusia tidak perlu untuk
mencarinya lagi, tinggal bagaimana umat islam menjaga dan mempertahankan
kemurniannya. Inilah yang kemudian mengapa teologi Barth dikenal dengan teologi
dialektis.
Dalam teologi dialektis
Barth, Yesus memiliki peran yang sangat sentral (seperti sentralnya tawhid dalam pemikiran Cak Nur). Karena
semuanya terpusat pada sosok Yesus ini. Terutama pada tiga konsep utama, yaitu
Inkarnasi, wafatnya Yesus dan konsep kebangkitannya. Ketika membicarakan
tentang penebusan dosa sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan, tanpa adanya
Yesus mustahil manusia dapat kembali pada Tuhan. Penebusan dosa merupakan upaya
kasih Tuhan pada manusia melalui Yesus. Karena tanpa adanya penebusan dosa
mustahil manusia dapat mencapai Tuhan, karena pada dasarnya manusia itu berdosa (ingat tentang konsep Dosa asal).
Sementara Tuhan itu suci, tidak mungkin kemudian yang berdosa dapat mencapai
yang suci sebelum dosanya itu dibersihkan. Dan itulah pangkal utama teologi
mereka, tinggal bagaimana kemudian manusia mengakses hal di atas.
Wallahu ‘alam bishowab.
Joglo, 18 Mei 2013
by Syarifuddin el-Azizy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar