2013-05-23

Menakar Ulang Teologi Dialektis Karl Barth Dalam Pemikiran Keislaman Nurcholish Madjid

Membicarakan pemikiran Nurcholish Madjid memang tak ada habis-habisnya, perspektif baru yang ditawarkanya selalu menimbulkan tanda tanya, darimana datangnya perspektif tersebut? Apakah murni hasil pemikirannya ataukah ia mengadopsi pemikiran orang lain. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk merefleksikan teologi dialektis Karl Barth –teolog Swiss – dalam pemikiran Cak Nur, meskipun demikian saya tidak bermaksud mengklaim bahwa pemikiran Cak Nur tersebut merupakan hasil adopsi dari pemikiran dialektis Barth, saya mempersilakan kepada pembaca untuk menyimpulkan sendiri.
            Sebelum masuk lebih jauh, paling tidak kita tahu tentang kedua sosok di atas. Keduanya berasal dari dua kelompok besar aliran pemikiran di dunia ini, yaitu Islam dan Kristen. Karl Barth lahir di Swiss pada 10 mei 1886. Ia banyak belajar dari guru-gurunya yang dikategorikan dalam teolog liberal seperti Adolph von Harnack dan Soren Kierkegaard (1813-1855).  Namun berbeda dengan guru-gurunya yang liberal, Barth berbalik arah dan merefleksikan ulang pemikiran-pemikiran mereka yang dikira terampau jauh dan sangat antroposntris sehingga kering nilai keilahiaannya. Maka dari itu, Barth mencoba mensintesiskan secara aktif antara pemikiran liberal di satu sisi dan tradisional di sisi lain, ia dikenal sebagai tokoh neo-orthodok dalam teologi Kristen Modern. Pemikiran Barth berpusat pada Kristologi (menjadikan Kristus sebagai pusat pemikirannya). Barth juga aktif dalam berkarya, karya monumentalnya yaitu dogmatika gereja yang terdiri dari 13 jilid. Sementara Cak Nur lahir di Jombang pada 17 maret 1939. Masa kecilnya ia belajar di pondok Modern Gontor, Ponorogo sebelum kemudian melanjutkan ke UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab dan melanjutkan ke Chicago untuk meneruskan studinya. Selama di Chicago ia banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran modernis terutama dengan gurunya, Fazlur Rahman seorang muslim keturunan Pakistan yang menjadi guru besar disana. Pemikiran Cak Nur berpusat pada tawhid. Cak Nur juga aktif menulis, diantara karya-karyanya yaitu Islam, Doktrin dan peradaban, Islam agama kemanusiaan, Islam agama peradaban, dll.
Ketika kita membaca tulisan-tulisan Cak Nur, maka kita akan disajikan dengan rangkaian bangunan epitemologi pemikirannya yang berpuncak pada tawhid. Tawhid merupakan dasar pijakan pemikiran Cak Nur, sebagaimana yang terdapat dalam “Islam, Doktrin dan Peradaban”. Dari tawhid inilah, Cak Nur kemudian mengembangkannya pemikirannya melalui refleksi-refleki yang dilakukan olehnya, sehingga menghasilkan konsep kemanusiaan yang pada akhirnya berujung pada keadilan.
            Ketika membicarakan konsep tawhid Cak Nur, kita akan menemukan konsep Muthlak dan konsep nisbi atau konsep Absolut dan tidak absolut. Dan ketika kita mencoba menariknya dalam ilmu kalam kita akan kesulitan melacaknya, kenapa demikian? Karena konsep yang ditawarkannya relatif baru dalam hal teologi Islam. Konsep yang Muthlak atau absolut merujuk pada Tuhan universal dari umat manusia, bukan hanya terbatas pada satu agama saja. Yang absolut itu pasti bersifat tunggal, dan ketika ia tidak tunggal pastinya ia bukan lagi absolut tetapi sudah nisbi. Untuk itu, yang absolut atau muthak itu mesti tak terbatas, lawan dari absolut adalah nisbi. Konsep nisbi merujuk pada manusia –dan semua makhluk yang diciptakan oleh yang absolute, seperti alam semesta, hewan dan tumbuhan. Dengan demikian ada dua entitas besar yang berdiri pada posisinya masing-masing yaitu yang Muthlak dan yang Nisbi.
Sesuatu yang nisbi tidak mungkin mencapai yang muthlak dengan usahanya sendiri semata. Karena bagaimanapun yang terbatas tidak mungkin menjangkau sesuatu yang tak terbatas, kecuali yang tak terbatas itu memberikan semacam pertolongan atau bantuan kepada yang terbatas tersebut. Hal inilah yang kita dapatkan dari konsep pemikirannya Cak Nur. Sekuat apapun manusia berusaha untuk mencapai Tuhan (dengan bantuan fitrahnya), ia tidak mungkin dapat mengakses Tuhan secara total. Tetapi Tuhan dengan rahimnya berbaik hati, dengan memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana caranya dapat menuju kepada-Nya. Bantuan dari Tuhan inilah yang kita kenal dengan Firman Tuhan atau kitab suci (Al-Qur’an), yang diberikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas tertentu, yang dalam Islam kita mengenalnya dengan Rasul. Dari al-Qur’an inilah manusia dapat mencapai Tuhan, tetapi sifatnya hanya mendekati bukan mencapai secara penuh.
Dan ketika kita komparasikan dengan pemikiran teologi dialektis Barth, maka kita akan menemukan banyak kesamaan. Konsep dialektis Barth, Tuhan dan manusia secara aktif bertemu untuk berdialektik. Manusia berusaha secara aktif untuk mencapai Tuhan, sementara Tuhan juga memberikan bantuan secara aktif kepada manusia berupa firman. Melalui firman inilah manusia dapat kembali kepada Tuhan –yang dalam tradisi Kristiani Firman itu merupakan Yesus Kristus. Yesus merupakan rahmat Tuhan, yang diberikan kepada manusia untuk menebus dosa mereka –kita kenal dalam tradisi Kristen terdapat dosa asal atau dosa waris yang telah ada bahkan semenjak manusia itu dilahirkan. Sementara tugas manusia adalah bagaimana kemudian ia mengakses Yesus ini secara terus menerus untuk mencapai Tuhan –Iman dalam tradisi Kristen diartikan sebagai proses terus-menerus untuk mencapai kebenaran, sementara dalam tradisi Islam iaman merupak sesuatu yang sudah jadi makanya manusia tidak perlu untuk mencarinya lagi, tinggal bagaimana umat islam menjaga dan mempertahankan kemurniannya. Inilah yang kemudian mengapa teologi Barth dikenal dengan teologi dialektis.
Dalam teologi dialektis Barth, Yesus memiliki peran yang sangat sentral (seperti sentralnya tawhid dalam pemikiran Cak Nur). Karena semuanya terpusat pada sosok Yesus ini. Terutama pada tiga konsep utama, yaitu Inkarnasi, wafatnya Yesus dan konsep kebangkitannya. Ketika membicarakan tentang penebusan dosa sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan, tanpa adanya Yesus mustahil manusia dapat kembali pada Tuhan. Penebusan dosa merupakan upaya kasih Tuhan pada manusia melalui Yesus. Karena tanpa adanya penebusan dosa mustahil manusia dapat mencapai Tuhan, karena pada dasarnya manusia itu berdosa (ingat tentang konsep Dosa asal). Sementara Tuhan itu suci, tidak mungkin kemudian yang berdosa dapat mencapai yang suci sebelum dosanya itu dibersihkan. Dan itulah pangkal utama teologi mereka, tinggal bagaimana kemudian manusia mengakses hal di atas.
Wallahu ‘alam bishowab.

Joglo, 18 Mei 2013
by Syarifuddin el-Azizy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar