Tulisan ini saya tulis tahun 2012 lalu, dan ternyata
di tahun 2013 ini semakin Nampak apa yang telah saya maksudkan. Seperti dalam
hal projek pengadaan lembar soal dan lembar jawab Ujian Nasional (UN). Tulisan ini
berusaha untuk mengkritisi mereka yang bergerak dibidang pendidikan, namun ia
tidak mendidik tetapi malah memanfaatkan jabatan yang dimiliki untuk
kepentingan sendiri.
Di era
globalisasi seperti sekarang ini, pendidikan tetap menjadi jantung kemajuan.
Dengan pendidikan orang bisa menggenggam dunia dan tanpanya ia akan teralienasi
atau bahkan hilang tenggelam ditelan kemajuan informasi itu sendiri. Bukan
hanya kawasan kota saja yang diselubungi dengan pendidikan dari mulai
pendidikan dasar, menengah hingga tingkat atas, daerah pedesaan pun mulai
dihinggapi pula, tak terkecuali daerah pedalaman yang jauh dari akses teknologi
informasi.
Dengan adanya pendidikan secara
otomatis terbuka pulalah peluang-peluang baru tuk ‘meraup keuntungan
sebesar-besarnya’. Posisi kekuasaan pun jadi posisi strategis, tuk mempercepat
akses menuju tujuan itu. Maka dari itu tak mengherankan, pertarungan
kepentingan pun menyertai dunia ini. Bukan hanya membayangi dunia politik
ekonomi yang sudah sejak lama diikat olehnya. Memang
ada bermacam motif orang masuk ke dunia yang satu ini, mulai motif pengajaran,
motif ekonomi hingga motif ‘penguasaan’. Dan itupun menjadi tradisi yang turun
menurun tanpa harus diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Pertarungan kepentingpun menjangkiti
kawasan agama, yang kita kenal sebagai kawasan ‘suci’. Semakin parah jika itu
terjadi untuk memperebutkan jabatan sebagai pimpinan tertinggi keagamaan.
Pembagian ‘bingkisan’ dari calon menghiasi arena gelap petarungan. Kertas merah
bertebaran. Tidak lain dan tidak bukan demi sebuah status yang dengannya
manusia lebih dihormati, dihargai dan dijunjung tinggi. Tanpa mau tahu kualitas
dan efek samping di masa mendatang. Kemaslahatan umat dan kesejahteraannya dipertaruhkan demi selembar
atau dua lembar kertas bergambar foto founding father
negeri ini, Soekarno-Hatta.
Kembali ke bidang pendidikan,
perbuatan tak berpendidikan ini membawa dampak yang cukup signifikan, kualitas
peserta didik merosot secara drastis. Apa gunanya kuantitas yang banyak tanpa
diikuti kualitas memadai. Kebutuhan bangsa ini semakin besar, sebagai tembok
peradaban, namun apa jadinya jika tembok itu dibangun dengan kualitas rendah.
Sekali tembak aja sudah rubuh berantakan.
Pertarungan kekuasaan yang
membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran telah mengalihkan fokus tenaga pendidik.
Sehingga mereka lebih banyak mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran ke
pertarungan yang tidak seharusnya dilakukan diarena tersebut. Akibatnya peserta
didik kehilangan pegangan, hanya
otak yang diasah tanpa diikuti moral yang memadai. Tawuran pelajar merupakan
salah satu akibat serius dari pertarungan ini.
Pendidikan yang seharusnya
menciptakan manusia cerdas, beriman dan berakhlak mulia dicederai oleh
oknum-oknum pendidik itu sendiri. Bagaimana bisa membangun tembok masa depan
jika bahan-bahan yang digunakan keropos, tenaga pembuatnya pun tak profesinal?
Sudah saatnya pendidikan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, bukan
hanya dari segi mutu pelajaran tetapi juga dari tenaga pendidik.
Wisma
joglo, 22 sept 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar