2013-05-06

Pertarungan Kepentingan di Dunia Pendidikan

Tulisan ini saya tulis tahun 2012 lalu, dan ternyata di tahun 2013 ini semakin Nampak apa yang telah saya maksudkan. Seperti dalam hal projek pengadaan lembar soal dan lembar jawab Ujian Nasional (UN). Tulisan ini berusaha untuk mengkritisi mereka yang bergerak dibidang pendidikan, namun ia tidak mendidik tetapi malah memanfaatkan jabatan yang dimiliki untuk kepentingan sendiri.
            Di era globalisasi seperti sekarang ini, pendidikan tetap menjadi jantung kemajuan. Dengan pendidikan orang bisa menggenggam dunia dan tanpanya ia akan teralienasi atau bahkan hilang tenggelam ditelan kemajuan informasi itu sendiri. Bukan hanya kawasan kota saja yang diselubungi dengan pendidikan dari mulai pendidikan dasar, menengah hingga tingkat atas, daerah pedesaan pun mulai dihinggapi pula, tak terkecuali daerah pedalaman yang jauh dari akses teknologi informasi.
            Dengan adanya pendidikan secara otomatis terbuka pulalah peluang-peluang baru tuk ‘meraup keuntungan sebesar-besarnya’. Posisi kekuasaan pun jadi posisi strategis, tuk mempercepat akses menuju tujuan itu. Maka dari itu tak mengherankan, pertarungan kepentingan pun menyertai dunia ini. Bukan hanya membayangi dunia politik ekonomi yang sudah sejak lama diikat olehnya. Memang ada bermacam motif orang masuk ke dunia yang satu ini, mulai motif pengajaran, motif ekonomi hingga motif ‘penguasaan’. Dan itupun menjadi tradisi yang turun menurun tanpa harus diwariskan oleh generasi sebelumnya.
            Pertarungan kepentingpun menjangkiti kawasan agama, yang kita kenal sebagai kawasan ‘suci’. Semakin parah jika itu terjadi untuk memperebutkan jabatan sebagai pimpinan tertinggi keagamaan. Pembagian ‘bingkisan’ dari calon menghiasi arena gelap petarungan. Kertas merah bertebaran. Tidak lain dan tidak bukan demi sebuah status yang dengannya manusia lebih dihormati, dihargai dan dijunjung tinggi. Tanpa mau tahu kualitas dan efek samping di masa mendatang. Kemaslahatan umat dan kesejahteraannya dipertaruhkan demi selembar atau dua lembar kertas bergambar foto founding father negeri ini, Soekarno-Hatta.
            Kembali ke bidang pendidikan, perbuatan tak berpendidikan ini membawa dampak yang cukup signifikan, kualitas peserta didik merosot secara drastis. Apa gunanya kuantitas yang banyak tanpa diikuti kualitas memadai. Kebutuhan bangsa ini semakin besar, sebagai tembok peradaban, namun apa jadinya jika tembok itu dibangun dengan kualitas rendah. Sekali tembak aja sudah rubuh berantakan.
            Pertarungan kekuasaan yang membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran telah mengalihkan fokus tenaga pendidik. Sehingga mereka lebih banyak mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran ke pertarungan yang tidak seharusnya dilakukan diarena tersebut. Akibatnya peserta didik kehilangan pegangan, hanya otak yang diasah tanpa diikuti moral yang memadai. Tawuran pelajar merupakan salah satu akibat serius dari pertarungan ini.
            Pendidikan yang seharusnya menciptakan manusia cerdas, beriman dan berakhlak mulia dicederai oleh oknum-oknum pendidik itu sendiri. Bagaimana bisa membangun tembok masa depan jika bahan-bahan yang digunakan keropos, tenaga pembuatnya pun tak profesinal? Sudah saatnya pendidikan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, bukan hanya dari segi mutu pelajaran tetapi juga dari tenaga pendidik.
                                                                                                                          Wisma joglo, 22 sept 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar