2013-12-05

Agama dan Ekonomi perspektif Weber

Sebagai sosiolog, Weber tentunya melihat agama dalam perspektif sosial, artinya segala sesuatau yang dapat diamati, diteliti dan kemudian dianalisis. Begitu juga agama, Weber melihatnya dalam konteks sosialnya, bagaimana kemudian agama menjadi pemicu pengangkatan (leverage) status sosial dan menjadikan para penganutnya bukan menjadi rendah, .
Dalam buku “The protestan ethics and Spirit of capitalism”, Weber melihat bagaimana etika sebuah agama (Proteskan) menggerakkan kapitalisme.  Hal ini tidak lain merupakan aktulisasi calvinisme, bahwa “siapa yang bahagia didunia maka dia juga akan bahagia diakhirat” atau dengan ungkapan lain “siapa yang didunia ini bahagia (dengan uang, bisa berbagi kepada sesama), maka diakhirat dia juga akan dibahagiakan oleh Tuhan” kurang lebih seperti itulah. Dengan demikian, dalam kehidupannya orang harus sejahtera. Konsep kesejahteraan inilah yang nampaknya menjadi penopang kapitalisme.
Dalam kajiannya ini, Weber melihat terjadi perubahan asketisme yang pada tahap selanjutnya menempatkan protestan sebagai pendukung utama kapitalisme. Yaitu asksetisme dunia-batin. Artinya, menjadi asketis bukan hanya dalam hal batin semata tetapi juga dunianya, yang kemudian  diterjemahkan bahwa “setiap orang menjadi biarawan” disatu sisi, tetapi juga tetap hidup mengikuti panggilan sekulernya alias kaya. Hal inilah yang menjadi tesis awal untuk kemudian melihat agama-agama lainnya seperti Yahudi, Islam, Hindu, Buddha dan juga Konfusianisme.
Sebagai contoh, Weber melihat Yudaisme dan Islam sebagai tahapan yang masih malu-malu dalam pengembangan asketisme dunia-batin, khususnya di tingkatan sosial. Karena Yudaisme masih terikat kepada perspektif yang lahir dari keetnisan, sementara Islam masih terikat pada komunitas politis yang diyakini “harus terbentuk” demi mewujudkan konsep kerajaan Tuhan dibumi yaitu “kekahalifahan di atas bumi” (Weber, 2012: 65).
Sementara itu, ketika melihat Katolik, Weber melihat potensi asketisme dunia-batin ada, namun ia hanya menjadi konsumsi terbatas bapak-bapak gereja sehingga tidak dapat dinikmati oleh jemaat pada umumnya dan ini tiak sesuai dengan realitas dunia sekuler. Weber melihat ada kesamaan antara Katolik dengan Hinduisme yaitu pada pemusatan pada pemimpin agama yaitu bapak-bapak gereja (katolik) dan Brahmana (Hinduisme).
Kesuksesan sebagai Keselamatan
Sebuah Doktrin Kristen “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, doktrin inilah yang menjadi prototipe  Weber. Jika sebuah agama memiliki konsep keselamatan, acuannya adalah pada kasih terhadap sesama manusia sekaligus kepada Tuhan. Yang bisa diartikan juga sebagai “ketika engkau selamat didunia, maka dikehidupan yang akan datang engkau juga akan selamat”. Artinya ada sinergitas antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat mustahil diraih tanpa meraih kehidupan dunia, dan manusia tidak mungkin hanya mengasihi Tuhan semata tanpa mengasihi manusia lainnya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri.
Jaminan keselamatan, bagi kaum Protestan, selalu memperlihatkan diri dalam tindakan rasional terintegrasi begitu rupa menurut pemaknaan, tujuan dan ketajaman cara yang diatur oleh prinsip dan aturan tertentu. Dapat juga diartikan bahwa keselamatan sebagai kesuksesan tindakan preotestan yang dianggap juga sebagai kesuksesan tindakan Tuhan sendiri yang telah  mendukung tindakan tersebut, sukses menjadi tanda khusus berkat ilahi bagi kaum Protestan dan aktivitasnya. 
Bagi kaum Protestan juga, perintah ilahi mensyaratkan bagi kemakhlukan manusia penundukan tanpa syarat terhadpa dunia ke norma-norma kebajikan religius, bahkan pentrasnformasian dunia ke arah itu. dan inilah kiranya yang menjadi salah satu spirit penaklukan dunia besar-besaran oleh kaum protestan dengan ungkapan lain spirit kapitalisme.

2013-09-24

Ilmu Sosial Profetik

Munculnya istilah ini tidak bisa dilepaskan dari pencetusnya, Prof. Dr. Kuntowijoyo, seorang sejarawan dan juga sastrawan yang empiris dan juga religius. ISP biasa disingkat begitu, merupakan respon  pak Kunto terhadap Teologi Transformatifnya Moelim Abdurahman. 
Ada tiga term yang digunakan oleh Kunto dalam ISP-nya. Yaitu, Liberasi, Humanisasi dan Transendensi. karena term diatas juga Kunto dianggap bukan pemikir murni tetapi hanya penjiplak Neo-Marxis. Tetapi ketika ditelisik lebih jauh, ada hal lain yang membedakannya dengan Neo-Marxisme yaitu ketika Kunto memasukan Transendensi ke dalam ISP. inilah yang menunjukan bahwa Kunto bukan penjiplak. 
ISP dipengaruhi oleh dua pemikir besar, yaitu Roger Jarandi (kalo tidak salah tulisannya seperti itu), seorang Muslim Barat yang menulis Janji-Janji Islam dan Syech Jabar tentang Profetiknya (Syech Jabar menulis tentang pengalaman Isra' Mi'raj Nabi Muhammad). Terinspirasi dari dua pemikir inilah lahir ISP. 
Kunto selalu menginginkan umat Islam beralih dari pola pikir subjectif-normatif ke arah objectif-empiris. Artinya, umat Islam bukan hanya mengutamakan normatifitas belaka tetapi juga memberikan efek sosial secara empiris. Kunto memberikan contoh seperti Zakat. Zakat disamping mengandung point normatif berupa mensucikan harta, ia juga membawa dampak empiris berupa memeratakan dan mensejahterakan umat.
Pasca Kunto, terjadi kemandekan ilmu sosial di Indonesia. Hal inilah yang sekiranya harus disikapi secara tepat jika tidak akan semakin berbahaya bagi negeri ini. Karena hal ini menjadikan kita semakin konsumtif dalam ilmu pengetahuan. "selama kita masih konsumtif kita akan selamanya dijajah".


tulisan ini merupakan releksi singkat 70th Alm. Kuntowijoyo yang dilaksanakan di Gedung AR Fakhrudin A UMY pada hari selasa, 24 September 2013.

2013-05-30

Teologi Kemiskinan Di Asia


Teologi Pembebasan muncul pada abad 20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang menjadikan manusia terbelenggu, terpenjara, teralienasi dan pada akhirnya mereka menjadi tidak merdeka. Manusia dengan kemerdekaannya, seharusnya ,menggunakan itu unt memakmurkan bumi buan kemudian menjadikan kekuasaan dan jabatan yang dimiliki untuk menekan, menindas bahkan menghapuskan kemerdekaan dari manusia lain dengan alasan kepentingan pribadi mereka. Teologi pembebasan muncul pertama kali di Eropa dengan berkonsentrasi pada persoalan globalisasi dan juga pada keprihatin pada dosa sosial yang terdapat pada sistem pemerintahan sebuah negara. Teologi Pembebasan kala itu, menawarkan sistem sosial yang mengedepankan keadilan kepada warga negara dan warga dunia dalam pandangan agama (manusia yang adil, tidak tertindas) yang dirusak oleh manusia sendiri. Sementara itu, teologi pembebasan yang lahir di Amerika Latin berfokus pada gerakan perlawanan yang kebanyakan dipimpin oleh para agamawan terhadap kekuasaan yang hegemoni dan otoriter.
Pemikiran Teologi Pembebasan merupakan hasil refleksi bersama suatu komunitas (Kristen) terhadap suatu persoalan sosial yang sedang dihadapi dalam suatu relatas masyrakat tertentu. Sehingga, ia bukan hanya lagi milik kau agamawan semata, masyarakat pun terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan itu. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural. Teologi pembebasan merupakan hasil dari penafsiran ulang  peran Yesus sebagai inkarnasi Tuhan di dunia modern dengan tetap berpacu pada Alkitab. Hal ini dilakukan guna mengkontekstualisasikan Kristen sebagai agama yag bukan hanya terbatas wilayah gereja semata tetapi juga  mampu merasakan apa yang sedang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat. Akibatnya, ia harus mampu untuk menjawab persoalan yang dihadai rakyat dengan menafsirkan kembali peran Yesus yang menyelamatkan umat manusia.
 Setelah menafsirkan pesan-pesan dalam Alkitab berdasarkan tindakan Yesus yang membela dan menolong orang-orang lemah, sakit, dan tertindas, maka peran agama juga seharusnya demikian. Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagai lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yan lebih diutamakan dan ditekankan biasanya pada niai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai tersebut di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan yang pada akhirnya melahirkan Teologi Pembebasan. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus adalah Tuhan yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya. [1]
Persoalan yang berbeda dengan kondisi yang berbeda akan menimbulkan reaksi iman yang berbeda.  Seperti Kekristenan di banyak Negara Asia berhadapan dengan konteks kemiskinan dan hidup di tengah-tengah  mayoritas penganut agama-agama lain, maka respon yang terjadi di Asia itu pasti berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa. Jumlah penduduk yang beragama Kristen pun akan mempengaruhi arah gerakan yang mereka lakukan. Seperti di Filipina dan Korea Selatan yang berpenduduk Kristen mayoritas, pasti akan berbeda dengan negera-negara lain seperti Cina, Korea Utara, Vietnam, dan Kampuchea yang penduduknya Kristennya minoritas. Teologi di Asia inilah yang akan disoroti dalam tulisan ini.
Benua Asia mempunyai wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduknya sangat padat. Kemajemukan yang menjadi ciri Asia juga telah melahirkan pendekatan teologis yang beranekaragam. Dalam hubungannya dengan gereja-gereja sedunia, pengakuan terhadap Allah sebagai Khalik dan inkarnasi Firman Allah dalam Yesus Kristus merupakan dasar bagi banyak pergumulan teologis selama berabad-abad. Makna pokok-pokok pengakuan tersebut digumuli demi damai sejahtera manusia di Asia. Ada dua segi teologi di Asia yang majemuk, yaitu pertemuan dengan agama-agama lain dan perhatian bagi pergumulan orang miskin.[2]
Sebenarnya, Latar belakang Teologi Pembebasan (lebih dikenal dengan teologi kemiskinan) Asia tidak jauh berbeda dengan teologi pembebasan di wilayah lain (Amerika Latin atau Afrika). Meski Asia adalah tempat lahirnya agama-agama, akan tetapi yang tampak adalah bahwa agama di Asia tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan masyarakat dari fenomena ketertindasan, kemelaratan, kemiskinan, dan pertikaian antar-kelompok yang tiada henti. Malah agama ditunggangi oleh kelompok elit masyarakat tertentu untuk dijadikan basis legitimasi demi kemakmuran mereka sendiri.
Keprihatinan seperti itulah yang melahirkan gerakan-gerakan pembebasan berbasis agama di beberapa kawasan Asia, seperti teologi Minjung di Korea, teologi Perjuangan di Filipina, dan teologi Dalit di India. Demikian juga ketika kelompok-kelompok agama Konghucu di Cina, Hindu di India, Budha di Sri Langka, serta Islam di Pakistan, Iran, atau Indonesia, mencoba berjuang menuntaskan problem-problem ketertindasan dan kemiskinan.
Dalam pembahasan ini, akan dikerucutkan kepada beberapa okoh, meskiun ha ini tidak bias dijadikan patokan maupun ukuran, namun hal ini bias memberikan gambaran sedikit tentang telogi kemiskinan di asia. Tokoh terebut adalah Aloysius Pieris dari Sri Langka dan JB Banawiratma dari Indonesia.
1.      Aloysius Pieris
Ia lahir di Ampitiya, Sri Lanka, pada tahun 1934. Ia masuk Serikat Yesus pada umur 19 tahun dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan lisensiat filsafatnya di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India, pada tahun 1959. Karena dibesarkan dalam suatu daerah mayoritas masyarakatnya memeluk agama Buddha, Pieris segera menyadari bahwa, untuk dapat bekerja secara efektif sebagai imam di tanah airnya sendiri, ia harus belajar agama Buddha (Rubianto 1996, 20-21)  sehingga ia mempunyai hubungan dialog dan pengalaman yang erat dengan kaum Buddhis. Ia berhubungan dengan agama lain dalam rangka menceburkan diri dalam perjuangannya untuk pembebasan orang-orang miskin (Amaladoss 2001, 191). Fokus teologinya ialah mengembangkan Teologi Pembebasan bergaya Asia yang memperhitungkan kemiskinan Asia.
Agama Buddha melihat penyebab kemiskinan adalah hasrat keinginan untuk mempunyai barang-barang jasmani dan hasrat keinginan ini mendorong orang untuk memeras dan memelaratkan orang lain. Maka dari itu, hasrat keinginan itu dilawan dengan pilihan untuk hidup miskin, dengan meninggalkan baik keinginan untuk memiliki maupun kenyataan memiliki barang-barang jasmani. Menurut Pieris, memilih hidup miskin demi kepentingan kaum miskin ialah suatu perjuangan yang mendatangkan pembebasan setiap orang dari kemiskinan yang dikarenakan struktur-struktur ekonomi dan politik yang tak adil. Pieris melihat dalam suri teladan Yesus, ada pilihan seperti itu. Dalam perjuangan yang terus menerus di dunia antara Allah dan Mamon, Yesus memilih menjadi miskin sejak waktu kelahiran-Nya juga (Amaladoss 2001, 192). Dalam diri Yesus, ada Allah yang bersama dengan kaum miskin demi pembebasan mereka (Amaladoss 2001, 194). Dengan Buddhologi, Kristologi tidak dalam upaya untuk menjadi saingan, melainkan melengkapinya. Orang-orang Kristen menyatukan diri dengan para penganut Buddhisme untuk menarik diri dari dunia karena gnosis (menjalani hidup miskin dengan sukarela), dan para penganut Buddhisme bersatu padu dengan orang-orang Kristen untuk terjun ke dalam dunia karena cinta kasih untuk melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang dipaksakan (R. Sugirtharajah 1996, 102).
Dalam teologi pembebasannya, Pieris menganjurkan orang Kristen agar memberi diri mereka untuk melayani orang miskin. Dia menggabungkan konsep anatta atau penolakan diri yang terdapat dalam agama Buddha dengan dengan konsep pengabdian Kristen. Ia menegaskan bahwa dasar tugas dan panggilan umat Kristen di Sri Lanka adalah menjadi satu dengan orang miskin. (Ruck 1997, 272).
Aloysius Pieris mengkritik Teologi Pembebasan dari Amerika Latin dan Afrika kurang cocok untuk masyarakat Asia. Kemiskinan yang dilihat dari kacamata Marxisme belumlah efektif ketika tidak melihat akar permasalahan secara lebih dalam di Asia sendiri. Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dari konteks Asia adalah pendekatan multikulural. Asia oleh Pieris disebut sebagai 'dunia ketiga' yang memiliki akar 'religio-kultural' yang tidak terpisahkan. 'Reoligio-Kultural' ini setidaknya diuraikan oleh Pieris dalam tiga hal; 1. heterogenitas linguistik, 2. integrasi unsur-unsur kosmik dan metakosmik dalam agama-agama di Asia, dan 3. kehadiran luar biasa dari ajaran-ajaran keselamatan (soteriologis') bukan Kristen.
Menurut Pieris, Teologi Asia adalah cara orang harus merasa, menyadari dan melakukan sesuatu sebagaimana terwujud dalam pergumulan dan perjuangan rakyat Asia demi mencapai emansipasi spiritual dan sosial, serta dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan dan bahasa kebudayaan Asia. Dengan demikian, memahami teologi Asia harus terus merefleksikan pertautan antara kemiskinan dan kereligiusan dalam pergumulan hidup bangsa Asia. Sekalipun Asia memiliki matriks teologi yang khas, Asia ada dalam dilema antara teologi Eropa dan teologi Pembebasan Amerika Latin. Dilema ini hanya dapat diterobos bilamana ada rasa Asia dalam teologi di mana kemiskinan dan religiusitas merupakan Sensus Theologicum. Oleh karena itu, teologi yang relevan untuk benua Asia adalah teologi melalui partisipasi. Dalam partisipasi inilah, maka proses penginjilan bangsa Asia dan teologi akan membantu Gereja Asia menjadi “Gereja lokal dari Asia” yang sangat berbeda dengan “Gereja lokal di Asia.[3]
Seperti yang telah dikemukan di atas bahwa refleksi kristologi dalam konteks Asia Pieris bertitik tolak dari munculnya dua realitas Asia yang mencolok dan mencekam, yaitu adanya kemiskinan dan pluralitas agama yang keduanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan. Oleh karena itu, sebagai jalan keluar atau jalan menuju kristologi yang cocok bagi Asia dewasa ini, Pieris menganjurkan:
a.       Kembali kepada kehadiran Yesus
Menurut Pieris bahwa teolog Asia banyak yang menolak “keunikan Kristus”, oleh karena Kristus lebih dilihat sebagai gelar, sebuah gagasan dengannya sebuah kebudayaan tertentu mencoba menyatakan misteri yang terdapat dalam pribadi, karya dan ajaran Yesus. Gelar itu tidak absolut, yang absolut justru misteri penyelamatan yang diwartakan semua agama besar sesudah berabad-abad lamanya. Jadi dalam hal ini jelaslah bahwa bukan gelarlah yang menyelamatkan, melainkan Sang Pengantara itu sendiri yang menyelamatkan.
Menurut Pieris, Misteri “Tritunggal” juga merupakan kenyataan soteriologis fundamental yang terdapat di dalam banyak kebudayaan religius Asia. Pembicaraan mengenai “Putera Allah” justru akan memiliki arti bila dihubungkan dengan konteks penyelamatan yang dapat disapa di dalam hati orang Asia, bagi Pieris, kita akan bisa menemukan tempat yang peka dan terbuka itu, apabila kita mau mengulangi langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh Yesus sendiri untuk memperkenalkan pribadi-Nya dalam konteks religiusitas dan kemiskinan Asia. Dengan demikian tampaklah bahwa hubungan refleksi Kristologis Pieris dengan soteriologis Asia tidak boleh saling dipisahkan.
b.      Merumuskan Suatu Formula Baru yang sesuai bagi Asia
Menurut Pieris, formula kristologi baru yang perlu dipertemukan di Asia, tidak lain ialah Gereja yang secara otentik bersifat Asia. Ia merasa yakin, selama Gereja tidak masuk ke dalam air baptis religiusitas Asia dan melibatkan diri dari dalam derita dan salib kemiskinan Asia, maka tidak mungkin Gereja Asia itu menciptakan sebuah kristologi bagi Asia. Pieris juga melihat revolusi gerejani macam ini sudah mulai di dalam beberapa umat dan kelompok yang sekarang ini masih berada pada pinggir Gereja-Gereja besar. Dapat diharapkan, bahwa di dalam kelompok-kelompok pelopor itu muncul kristologi bagi Asia, yakni kisah tentang Yesus yang diceritakan oleh orang-orang Kristen Asia yang berani mengikuti Yesus pada jalan-Nya dari sungai Yordan ke bukit Kalvari.[4]
1.      JB Banawiratma  
Persoalan kemiskinan yang tak kunjung selesai dan semakin meruncing membwa kegelisahan terhadap salah satu pemuka Kristen Indonesia, dia adalah Johanes Baptista Banawiratma atau dikenal dengan  JB Banawiratma. ia mencoba merefleksikan kekristenan ala Indonesia, dan menemukan apa yang disebutnya dengan teologi fungsional. Teologi fungsional merupakan   suatu usaha berteologi yang secara eksplisit berpangkal pada pengalaman manusiawi dan pengalaman iman (berpangkal pada pengalaman kontekstual) dan ingin membantu penghayatan iman. ada tiga alasan usaha untuk fungsionalisasi (atau inkulturasi atau kontekstualisasi).
a.       Penghayatan Iman Kristiani yang mendasarkan pada injil Yesus Kristus selalu terjadi pada situasi, lingkungan, konteks, atau tata budaya tertentu yang konkret.
b.      konteks konkret atau tata budaya konkret tersebut bukanlah hanya “objek” yang disapa injil, melainkan “subjek” yang aktif. Nilai-nilai manusiawi yang terkandung di situ dibutuhkan untuk memperkaya penghayatan Injil Yesus Kristus.
c.       Menjadi beriman berarti dipanggil untuk menjadi ciptaan baru 5:15; 17- 18a). Dalam situasi hidup nyata di gereja dipanggill untuk hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru bukanlah barang jadi produk upacara baptisan, melainkan suatu pergulatan terus-menerus berada di mana Yesus Kristus berada.

Ada empat aspek dalam pemahaman teologi fungsional ini, yaitu “fungsional” adalah pemahaman yang kurang memadai empat aspek yaitu eskatologis,eskatologis, soteriologis, kristologis dan teologis.[5]
1.      Berdasarkan aspek eskatologis, Kerajaan Allah merupakan tidakan Allah yang memiliki ciri eskatologis-transenden. Kerajaan Allah tidak dapaat diidentifikasikan dengan pemenuhan hukum atau suatu teokrasi politis di dunia ini. Kenyataan hokum yang diratifikasi oleh gereja yang bernama dogma gereja itu seringkali melebihi hukum yang dibuat oleh Tuhan.
2.      Berdasarkan aspek soteriologis, Kalau Allah meraja, maka keselamatan manusia juga yang diperhatikan. Keselamatan bukanlah hanya keselamatan rohani saja, melainkan menyangkut keselamatan manusia dengan dimensi jasmani dan sosialnya.
3.      Berdasarkan aspek Kristologis, dalam Injil permakluman Kerajaan Allah sangat erat hubungannya dengan pribadi Yesus sendiri. Dalam keterlibatan yang mendasar Yesus menjalani hidup-Nya untuk pelayanan Kerajaan Allah sampai kematian-Nya di kayu salib. Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Itu berati Allah berada pada pihak Yesus. Apa yang dikatakan dan dikerjakan Yesus menyebabkan Dia disalib berlaku sangat definitif. Apa yang dikatakan dan dikerjakan Yesus sebagai anggota masyarakat, khususnya untuk membela yang miskin dan tertindas belum menjadi spirit orang Kristen Indonesia, baik dalam tindakan dan gerakan secara institusi dan organisatoris. Padahal kematian dan pengorbanan Yesus untuk umat manusia adalah anugerah terindah yang harus menjadi keyakinan hidup manusia yang percaya.
4.      Berdasark aspek Teologis, permakluman Yesus mengenai Kerajaan Allah Kristus mewahyukan secara baru siapakah Allah itu. Yesus menyebut Allah, Abba. Bapa tercinta. Kebangkitan Yesus meneguhkan “tuntutan”-Nya sebagai Anak Allah. Para murid Yesus diajari berdoa “Bapa Kami”. Partisipasi dalam kehidupan “Anak” itu sesudah kebangkitan-Nya dimengerti sebagai buah Roh Kudus, Roh Yang datang dari Allah melalui Yesus. Paradoks yang sering dijumpai dalam praksis bergereja, seakan-akan Roh Kudus adalah bagian yang terpisah dari Tuhan Yesus sehingga harus didatangkan keberadaannya dengan bahasa “khusus” untuk memberkati, menyembuhkan, menolong, dan melakukan apa saja untuk “menyenangkan” manusia.
Teologi yang memihak kaum miskin
            Terdapat tiga bentuk keterlibatan pada kaum miskin. Pertama, kurang lebih terbatas, dalam bentuk kunjungan ke komunitas-komunitas orang miskin, pertemuan-pertemuan, pendampingan terbatas, dukungan terhadap komunitaskomunitas beserta gerakan-gerakan mereka. Kedua, kerja ilmiah, menjalankan penelitian, menyampaikan penalaran profetis, kritis-kreatif, yang didorong oleh keterlibatan praktis berkaitan dengan keprihatinanm komunitas tersebut. Ketiga, hidup di tengah rakyat dan bekerja bersama rakyat miskin.
Aksi untuk melibatkan diri pada kaum miskin butir pertama yang mendesak dilakukan saat ini oleh gereja adalah menumbuhkan kesejahteraan mereka yang miskin dengan memberi dan menciptakan lapangan kerja, memberikan pendidikan yang murah dan mudah dengan potensi yang ada, dan memberikan “beasiswa” kepada mereka yang miskin. Karena keterbatasan, orang Kristen Indonesia belum mampu seperti Bunda Teresa, yang mengumpulkan gelandangan pada jam-jam terakhir menjelang kematiannya. Kesetiakawanan Bunda Teresa dengan kawankawannya adalah satu jalan mengikuti Yesus, hadir dan menemani penuh bela rasa. Demikian pula apa yang telah dilakukan oleh Pater Werner pada tahun 1970-1975 yang menemani tahanan politik di Pulau Buru. Kehadiran itu bagi mereka adalah berkah yang memberikan pengharapan.[6]
Masih banyak model pelibatan diri untuk memanusiakan orang miskin di daerah-daerah terpencil di tengah hutan, di pinggir pantai, atau di tempat-tempat miskin yang kekurangan pangan. Menjadi misionaris ke Sanggau Ledo, Manokwari, Wamena, Serui, Lembata, dan daerah-daeerah tertinggal di Indonesia untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui pendidikan dan pelatihan yang bermuara pada penumbuhan rasa percaya diri bagi manusia sudah merupakan kewajiban murid Yesus.
Keterlibatan sosial Gereja Indonesia untuk masa depan adalah perjuangan cinta kasih dan keadilan, membangun persaudaraan semua orang, mendahulukan kaum miskin. Pentingnya “Komunitas Basis Manusiawi” dan “Komunitas Basis Antar Iman”. Dalam hubungannya dengan keyakinan lain, Iman mempunyai dimensi keterlibatan besama untuk kesejahteraan hidup bersama, melawan ketidakadilan.
Nilai-nilai pengalaman religius lain memperkaya dalam dialog dan kerjasama.[7] Munculnya disharmoni antariman yang selama ini dirasakan adalah keridakmampuan memahami dan mersakan pengalaman religius lain dan berusaha untuk meningkatkan toleransi dan kerjasama. Menggunakan alat musik lengkap yang keras dan bising di lingkungan yang tenang misalnya, dapat mengudang reaksi protes kalau peserta ibadah tidak memahami konteks di mana gereja itu berada.
Kepedulian warga gereja terhadap lingkungan sosialnya pada akhirnya dapat menciptakan dialog dan kerjasama dalam memerangi kemiskinan dan pembodohan. Sudah seharusnya warga gereja sanggup berkorban pada masyarakat, karena gereja juga merupakan bagian dari masyarakat. Keikutsertaan dalam kegiatan masyarakat dalam kerja bakti, ronda malam, dan “mbangun desa” oleh warga gereja merupakan bentuk sosialisasi bahwa gereja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Warga gereja dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan membagi-bagi berkat dalam kegiatan natal dan paskah dengan pemberian sembako, pelayanan kesehatan, bakti masyarakat, bahkan keterlibatan warga gereja dalam kepengurusan di masyarakat.
Warga gereja perlu terampil berperan di masyarakat. Mereka yang sakit diberi obat. Mereka yang kekurangan makan diberi makanan. Mereka yang tidak pernah ganti baju diberi pakaian. Mereka yang tidak bisa sekolah diberi beasiswa. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal diberi tumpangan. Jika hal itu dilakukan, gereja merupakan media penggaraman. Mereka dapat berjalan tanpa harus dipaksa berjalan. Dengan demikian gereja dapat hidup dan peduli ditengah-tengah masyakat.

Daftar Pustaka

Ariyanto, M. Darojat. Teologi Kristen Modern Di Asia, SUHUF Vol. 23, No. 1, 2011.
Banawiratma, JB. “Teologi Fungsional-Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia   (Eka Darmaputera, Editor), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Banawiratma, JB dan Muller, J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius. 1993.
http://Aloysius-Pieris-An-Asian-Theology-of-Liberation&prev. diakses tanggal 27 Mei 2013 jam 10.00.
http://id.wikipedia.org/wiki/Teologi_pembebasan diakses tanggal 27 Mei 2013 jam 10.00.





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Teologi_pembebasan
[2] Drewes, B.F. dan Mojau, Julianus. Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2007, hlm. 64. Dikutip dari M. Darojat Ariyanto , Teologi Kristen Modern Di Asia, SUHUF Vol. 23, No. 1, 2011, hal. 69.

[3] http:// Aloysius-Pieris-An-Asian-Theology-of-Liberation&prev.
[4] http://lucassvd.blogspot.com/2008/11/kristologi-aloysius-pieris-sj.html
[5] Banawiratma, JB, “Teologi Fungsional-Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia (Eka
Darmaputera, Editor), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, Hal. 48-49.
[6] Ibid, hal. 142.
[7] Banawiratma, JB dan Muller, J, Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup
Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Hal 237.

2013-05-23

Menakar Ulang Teologi Dialektis Karl Barth Dalam Pemikiran Keislaman Nurcholish Madjid

Membicarakan pemikiran Nurcholish Madjid memang tak ada habis-habisnya, perspektif baru yang ditawarkanya selalu menimbulkan tanda tanya, darimana datangnya perspektif tersebut? Apakah murni hasil pemikirannya ataukah ia mengadopsi pemikiran orang lain. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk merefleksikan teologi dialektis Karl Barth –teolog Swiss – dalam pemikiran Cak Nur, meskipun demikian saya tidak bermaksud mengklaim bahwa pemikiran Cak Nur tersebut merupakan hasil adopsi dari pemikiran dialektis Barth, saya mempersilakan kepada pembaca untuk menyimpulkan sendiri.
            Sebelum masuk lebih jauh, paling tidak kita tahu tentang kedua sosok di atas. Keduanya berasal dari dua kelompok besar aliran pemikiran di dunia ini, yaitu Islam dan Kristen. Karl Barth lahir di Swiss pada 10 mei 1886. Ia banyak belajar dari guru-gurunya yang dikategorikan dalam teolog liberal seperti Adolph von Harnack dan Soren Kierkegaard (1813-1855).  Namun berbeda dengan guru-gurunya yang liberal, Barth berbalik arah dan merefleksikan ulang pemikiran-pemikiran mereka yang dikira terampau jauh dan sangat antroposntris sehingga kering nilai keilahiaannya. Maka dari itu, Barth mencoba mensintesiskan secara aktif antara pemikiran liberal di satu sisi dan tradisional di sisi lain, ia dikenal sebagai tokoh neo-orthodok dalam teologi Kristen Modern. Pemikiran Barth berpusat pada Kristologi (menjadikan Kristus sebagai pusat pemikirannya). Barth juga aktif dalam berkarya, karya monumentalnya yaitu dogmatika gereja yang terdiri dari 13 jilid. Sementara Cak Nur lahir di Jombang pada 17 maret 1939. Masa kecilnya ia belajar di pondok Modern Gontor, Ponorogo sebelum kemudian melanjutkan ke UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab dan melanjutkan ke Chicago untuk meneruskan studinya. Selama di Chicago ia banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran modernis terutama dengan gurunya, Fazlur Rahman seorang muslim keturunan Pakistan yang menjadi guru besar disana. Pemikiran Cak Nur berpusat pada tawhid. Cak Nur juga aktif menulis, diantara karya-karyanya yaitu Islam, Doktrin dan peradaban, Islam agama kemanusiaan, Islam agama peradaban, dll.
Ketika kita membaca tulisan-tulisan Cak Nur, maka kita akan disajikan dengan rangkaian bangunan epitemologi pemikirannya yang berpuncak pada tawhid. Tawhid merupakan dasar pijakan pemikiran Cak Nur, sebagaimana yang terdapat dalam “Islam, Doktrin dan Peradaban”. Dari tawhid inilah, Cak Nur kemudian mengembangkannya pemikirannya melalui refleksi-refleki yang dilakukan olehnya, sehingga menghasilkan konsep kemanusiaan yang pada akhirnya berujung pada keadilan.
            Ketika membicarakan konsep tawhid Cak Nur, kita akan menemukan konsep Muthlak dan konsep nisbi atau konsep Absolut dan tidak absolut. Dan ketika kita mencoba menariknya dalam ilmu kalam kita akan kesulitan melacaknya, kenapa demikian? Karena konsep yang ditawarkannya relatif baru dalam hal teologi Islam. Konsep yang Muthlak atau absolut merujuk pada Tuhan universal dari umat manusia, bukan hanya terbatas pada satu agama saja. Yang absolut itu pasti bersifat tunggal, dan ketika ia tidak tunggal pastinya ia bukan lagi absolut tetapi sudah nisbi. Untuk itu, yang absolut atau muthak itu mesti tak terbatas, lawan dari absolut adalah nisbi. Konsep nisbi merujuk pada manusia –dan semua makhluk yang diciptakan oleh yang absolute, seperti alam semesta, hewan dan tumbuhan. Dengan demikian ada dua entitas besar yang berdiri pada posisinya masing-masing yaitu yang Muthlak dan yang Nisbi.
Sesuatu yang nisbi tidak mungkin mencapai yang muthlak dengan usahanya sendiri semata. Karena bagaimanapun yang terbatas tidak mungkin menjangkau sesuatu yang tak terbatas, kecuali yang tak terbatas itu memberikan semacam pertolongan atau bantuan kepada yang terbatas tersebut. Hal inilah yang kita dapatkan dari konsep pemikirannya Cak Nur. Sekuat apapun manusia berusaha untuk mencapai Tuhan (dengan bantuan fitrahnya), ia tidak mungkin dapat mengakses Tuhan secara total. Tetapi Tuhan dengan rahimnya berbaik hati, dengan memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana caranya dapat menuju kepada-Nya. Bantuan dari Tuhan inilah yang kita kenal dengan Firman Tuhan atau kitab suci (Al-Qur’an), yang diberikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas tertentu, yang dalam Islam kita mengenalnya dengan Rasul. Dari al-Qur’an inilah manusia dapat mencapai Tuhan, tetapi sifatnya hanya mendekati bukan mencapai secara penuh.
Dan ketika kita komparasikan dengan pemikiran teologi dialektis Barth, maka kita akan menemukan banyak kesamaan. Konsep dialektis Barth, Tuhan dan manusia secara aktif bertemu untuk berdialektik. Manusia berusaha secara aktif untuk mencapai Tuhan, sementara Tuhan juga memberikan bantuan secara aktif kepada manusia berupa firman. Melalui firman inilah manusia dapat kembali kepada Tuhan –yang dalam tradisi Kristiani Firman itu merupakan Yesus Kristus. Yesus merupakan rahmat Tuhan, yang diberikan kepada manusia untuk menebus dosa mereka –kita kenal dalam tradisi Kristen terdapat dosa asal atau dosa waris yang telah ada bahkan semenjak manusia itu dilahirkan. Sementara tugas manusia adalah bagaimana kemudian ia mengakses Yesus ini secara terus menerus untuk mencapai Tuhan –Iman dalam tradisi Kristen diartikan sebagai proses terus-menerus untuk mencapai kebenaran, sementara dalam tradisi Islam iaman merupak sesuatu yang sudah jadi makanya manusia tidak perlu untuk mencarinya lagi, tinggal bagaimana umat islam menjaga dan mempertahankan kemurniannya. Inilah yang kemudian mengapa teologi Barth dikenal dengan teologi dialektis.
Dalam teologi dialektis Barth, Yesus memiliki peran yang sangat sentral (seperti sentralnya tawhid dalam pemikiran Cak Nur). Karena semuanya terpusat pada sosok Yesus ini. Terutama pada tiga konsep utama, yaitu Inkarnasi, wafatnya Yesus dan konsep kebangkitannya. Ketika membicarakan tentang penebusan dosa sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan, tanpa adanya Yesus mustahil manusia dapat kembali pada Tuhan. Penebusan dosa merupakan upaya kasih Tuhan pada manusia melalui Yesus. Karena tanpa adanya penebusan dosa mustahil manusia dapat mencapai Tuhan, karena pada dasarnya manusia itu berdosa (ingat tentang konsep Dosa asal). Sementara Tuhan itu suci, tidak mungkin kemudian yang berdosa dapat mencapai yang suci sebelum dosanya itu dibersihkan. Dan itulah pangkal utama teologi mereka, tinggal bagaimana kemudian manusia mengakses hal di atas.
Wallahu ‘alam bishowab.

Joglo, 18 Mei 2013
by Syarifuddin el-Azizy