2013-12-05

Agama dan Ekonomi perspektif Weber

Sebagai sosiolog, Weber tentunya melihat agama dalam perspektif sosial, artinya segala sesuatau yang dapat diamati, diteliti dan kemudian dianalisis. Begitu juga agama, Weber melihatnya dalam konteks sosialnya, bagaimana kemudian agama menjadi pemicu pengangkatan (leverage) status sosial dan menjadikan para penganutnya bukan menjadi rendah, .
Dalam buku “The protestan ethics and Spirit of capitalism”, Weber melihat bagaimana etika sebuah agama (Proteskan) menggerakkan kapitalisme.  Hal ini tidak lain merupakan aktulisasi calvinisme, bahwa “siapa yang bahagia didunia maka dia juga akan bahagia diakhirat” atau dengan ungkapan lain “siapa yang didunia ini bahagia (dengan uang, bisa berbagi kepada sesama), maka diakhirat dia juga akan dibahagiakan oleh Tuhan” kurang lebih seperti itulah. Dengan demikian, dalam kehidupannya orang harus sejahtera. Konsep kesejahteraan inilah yang nampaknya menjadi penopang kapitalisme.
Dalam kajiannya ini, Weber melihat terjadi perubahan asketisme yang pada tahap selanjutnya menempatkan protestan sebagai pendukung utama kapitalisme. Yaitu asksetisme dunia-batin. Artinya, menjadi asketis bukan hanya dalam hal batin semata tetapi juga dunianya, yang kemudian  diterjemahkan bahwa “setiap orang menjadi biarawan” disatu sisi, tetapi juga tetap hidup mengikuti panggilan sekulernya alias kaya. Hal inilah yang menjadi tesis awal untuk kemudian melihat agama-agama lainnya seperti Yahudi, Islam, Hindu, Buddha dan juga Konfusianisme.
Sebagai contoh, Weber melihat Yudaisme dan Islam sebagai tahapan yang masih malu-malu dalam pengembangan asketisme dunia-batin, khususnya di tingkatan sosial. Karena Yudaisme masih terikat kepada perspektif yang lahir dari keetnisan, sementara Islam masih terikat pada komunitas politis yang diyakini “harus terbentuk” demi mewujudkan konsep kerajaan Tuhan dibumi yaitu “kekahalifahan di atas bumi” (Weber, 2012: 65).
Sementara itu, ketika melihat Katolik, Weber melihat potensi asketisme dunia-batin ada, namun ia hanya menjadi konsumsi terbatas bapak-bapak gereja sehingga tidak dapat dinikmati oleh jemaat pada umumnya dan ini tiak sesuai dengan realitas dunia sekuler. Weber melihat ada kesamaan antara Katolik dengan Hinduisme yaitu pada pemusatan pada pemimpin agama yaitu bapak-bapak gereja (katolik) dan Brahmana (Hinduisme).
Kesuksesan sebagai Keselamatan
Sebuah Doktrin Kristen “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, doktrin inilah yang menjadi prototipe  Weber. Jika sebuah agama memiliki konsep keselamatan, acuannya adalah pada kasih terhadap sesama manusia sekaligus kepada Tuhan. Yang bisa diartikan juga sebagai “ketika engkau selamat didunia, maka dikehidupan yang akan datang engkau juga akan selamat”. Artinya ada sinergitas antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat mustahil diraih tanpa meraih kehidupan dunia, dan manusia tidak mungkin hanya mengasihi Tuhan semata tanpa mengasihi manusia lainnya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri.
Jaminan keselamatan, bagi kaum Protestan, selalu memperlihatkan diri dalam tindakan rasional terintegrasi begitu rupa menurut pemaknaan, tujuan dan ketajaman cara yang diatur oleh prinsip dan aturan tertentu. Dapat juga diartikan bahwa keselamatan sebagai kesuksesan tindakan preotestan yang dianggap juga sebagai kesuksesan tindakan Tuhan sendiri yang telah  mendukung tindakan tersebut, sukses menjadi tanda khusus berkat ilahi bagi kaum Protestan dan aktivitasnya. 
Bagi kaum Protestan juga, perintah ilahi mensyaratkan bagi kemakhlukan manusia penundukan tanpa syarat terhadpa dunia ke norma-norma kebajikan religius, bahkan pentrasnformasian dunia ke arah itu. dan inilah kiranya yang menjadi salah satu spirit penaklukan dunia besar-besaran oleh kaum protestan dengan ungkapan lain spirit kapitalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar