Sebagai sosiolog, Weber
tentunya melihat agama dalam perspektif sosial, artinya segala sesuatau yang
dapat diamati, diteliti dan kemudian dianalisis. Begitu juga agama, Weber
melihatnya dalam konteks sosialnya, bagaimana kemudian agama menjadi pemicu pengangkatan
(leverage) status sosial dan
menjadikan para penganutnya bukan menjadi rendah, .
Dalam buku “The protestan ethics and Spirit of
capitalism”, Weber melihat bagaimana etika sebuah agama (Proteskan)
menggerakkan kapitalisme. Hal ini tidak
lain merupakan aktulisasi calvinisme, bahwa “siapa yang bahagia didunia maka
dia juga akan bahagia diakhirat” atau dengan ungkapan lain “siapa yang didunia
ini bahagia (dengan uang, bisa berbagi kepada sesama), maka diakhirat dia juga
akan dibahagiakan oleh Tuhan” kurang lebih seperti itulah. Dengan demikian,
dalam kehidupannya orang harus sejahtera. Konsep kesejahteraan inilah yang
nampaknya menjadi penopang kapitalisme.
Dalam kajiannya ini,
Weber melihat terjadi perubahan asketisme yang pada tahap selanjutnya menempatkan
protestan sebagai pendukung utama kapitalisme. Yaitu asksetisme dunia-batin. Artinya,
menjadi asketis bukan hanya dalam hal batin semata tetapi juga dunianya, yang
kemudian diterjemahkan bahwa “setiap
orang menjadi biarawan” disatu sisi, tetapi juga tetap hidup mengikuti
panggilan sekulernya alias kaya. Hal inilah yang menjadi tesis awal untuk
kemudian melihat agama-agama lainnya seperti Yahudi, Islam, Hindu, Buddha dan
juga Konfusianisme.
Sebagai contoh, Weber
melihat Yudaisme dan Islam sebagai tahapan yang masih malu-malu dalam
pengembangan asketisme dunia-batin, khususnya di tingkatan sosial. Karena
Yudaisme masih terikat kepada perspektif yang lahir dari keetnisan, sementara
Islam masih terikat pada komunitas politis yang diyakini “harus terbentuk” demi
mewujudkan konsep kerajaan Tuhan dibumi yaitu “kekahalifahan di atas bumi” (Weber,
2012: 65).
Sementara itu, ketika
melihat Katolik, Weber melihat potensi asketisme dunia-batin ada, namun ia
hanya menjadi konsumsi terbatas bapak-bapak gereja sehingga tidak dapat
dinikmati oleh jemaat pada umumnya dan ini tiak sesuai dengan realitas dunia
sekuler. Weber melihat ada kesamaan antara Katolik dengan Hinduisme yaitu pada
pemusatan pada pemimpin agama yaitu bapak-bapak gereja (katolik) dan Brahmana
(Hinduisme).
Kesuksesan
sebagai Keselamatan
Sebuah Doktrin Kristen
“kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri”, doktrin inilah yang menjadi prototipe Weber. Jika sebuah agama memiliki konsep
keselamatan, acuannya adalah pada kasih terhadap sesama manusia sekaligus
kepada Tuhan. Yang bisa diartikan juga sebagai “ketika engkau selamat didunia,
maka dikehidupan yang akan datang engkau juga akan selamat”. Artinya ada
sinergitas antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat
mustahil diraih tanpa meraih kehidupan dunia, dan manusia tidak mungkin hanya
mengasihi Tuhan semata tanpa mengasihi manusia lainnya sebagaimana ia mengasihi
dirinya sendiri.
Jaminan keselamatan, bagi
kaum Protestan, selalu memperlihatkan diri dalam tindakan rasional terintegrasi
begitu rupa menurut pemaknaan, tujuan dan ketajaman cara yang diatur oleh
prinsip dan aturan tertentu. Dapat juga diartikan bahwa keselamatan sebagai
kesuksesan tindakan preotestan yang dianggap juga sebagai kesuksesan tindakan
Tuhan sendiri yang telah mendukung
tindakan tersebut, sukses menjadi tanda khusus berkat ilahi bagi kaum Protestan
dan aktivitasnya.
Bagi kaum Protestan
juga, perintah ilahi mensyaratkan bagi kemakhlukan manusia penundukan tanpa
syarat terhadpa dunia ke norma-norma kebajikan religius, bahkan
pentrasnformasian dunia ke arah itu. dan inilah kiranya yang menjadi salah satu
spirit penaklukan dunia besar-besaran oleh kaum protestan dengan ungkapan lain spirit
kapitalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar